BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aristoteles
lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota kecil di Yunani di semenanjung
Chalcidice. Ia tergolong keluarga menengah atas karena ayahnya menjadi dokter
di istana Anyntas II, ayah dari Philip Agung. Ketika menginjak umur 17 tahun ia
pergi ke Athena untuk menimba ilmu di Akademi Plato, dan menjadi anggota di
sekolah itu selama 20 tahun sampai pendirinya meninggal dunia. Kemudian ia
menikah dan mengabdi di istana Philip selama 3 tahun sebagai guru putra mahkota
Macedunia, Iskandar Agung (Aleksander).
Sebagai
seorang murid Plato, Aristoteles sebagai seorang filsuf yang tidak melanjutkan
ide-ide gurunya dalam tema-tema tertentu dalam filsafat. Kecerdasannya pada
persoalan-persoalan dasar filsafat membawa dirinya sebagai seorang filosof yang
mampu memberikan ide-ide baru dalam persoalan filsafat. Pada gagasan Plato, di
dalam karyanya Republic, negara
digambarkan dalam bentuk personifikasi manusia. Bentuk negara dan pemerintahan
digambarkan dalam bentuk sifat manusia. Sifat tersebut menjadi gagasan Plato
mengenai bentuk negara yang dibentuknya hingga etika politik yang
ditimbulkannya. Meskipun ada perbedaan antara Plato dan Aristoteles keduanya
sependapat bahwa “manusia adalah hewan politik yang bisa memenuhi wataknya
dalam polis”. Untuk itu negara yang benar adalah berupaya menciptakan
kesejahteraan bagi semua orang, bukan untuk kepentingan sekelompok orang.
Oleh
Aristoteles, tradisi filsafat moral dan etika dalam pemikiran filsafat yang
telah dilakukan oleh pendahulunya mulai bergeser. Ia mengembangkan konsep
filsafat yang berbeda secara ontologis dan epistemologis. Epistemologi
Aristoteles memungkinkan untuk mencari prinsip-prinsip yang jelas, pasti, bahwa
esensi hakikat tersebut terkandung dalam obyek itu sendiri. Ia mencari
kemungkinan dan makna sebenarnya yang lebih dari ketidakmungkinan dan ekstrim
absolute. Hal demikian itu, karena pemikiran Aristoteles dimulai dari hal-hal
pertikular dan individual, dan bukan dari hal universal dan keseluruhan.
Epistemologi Aristoteles demikian itu mensyaratkan adanya metodologi untuk
digunakan dalam pengujian dengan dua cara : (1) Pelacakan harus dimulai dengan
investigasi empiric atas institusi dan praktek-praktek yang ada. (2) Kajian
harus bermula dari bagian-bagian, khusus individual dapat ditata, dibina,
diarahkan dengan baik dan benar, maka akan membawa perbaikan terhadap yang
lebih besar yaitu keseluruhan.
Pada
pemikirannya konsep logika mulai diperkenalkan dengan dikaji secara sistematis.
Persoalan-persoalan sains juga menjadi pembahasan tersendiri dalam karya-karya
Aristoteles dan pada dasarnya tidak lepas bagaimana manusia melihat
permasalahannya. Filosof klasik pada umumnya memberikan perhatian pada manusia
pertama kali, seperti apa fungsi akal manusia terhadap kehidupannya, apa tujuan
manusia, dan apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam hidupnya. Aristoteles
merupakan filosof mulai memberikan perhatian terhadap studi-studi yang
berpondasi sains alam. Filsafat Aristoteles mulai menjangkau ke beberapa bidang
seperti logika, studi kealaman, metafisika, politik dan etika.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Pemikiran
Politik Aristoteles?
2.
Bagaimana hubungan
pemikiran politik aristoteles dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
C. Tujuan
1.
Pemikiran politik
Aristoteles.
2.
Hubungan antara
pemikiran Aristoteles dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Manfaat Makalah
1.
Memberikan pengetahuan
pemikiran politik dari Aristoteles.
2.
Memberikan pengetahuan
mengenai hubungan antara pemikiran Aristoteles dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran
Politik Aristoteles
Filsafat politik Aristoteles tercermin di dalam bukunya
Politics, dan juga tertuang dalam karyanya Nicomachean Ethics, Retoric, dan
Metaphiysic. Terdapat empat premis etis dan filosofis yang menjadi
perhatiannya, yaitu sebagai berikut :
1) Manusia adalah makhluk
rasional yang memiliki kehendak bebas.
2) Politik adalah
ilmu praktis.
3) Ada hukum moral
universal yang harus dipatuhi oleh semua
manusia.
4) Negara adalah
institusi ilmiah.
Aristoteles berpandangan bahwa dalam hidupnya perlu
mengikuti secara utuh atau perlu secara konsisten terhadap nilai-nilai
universal dalam semua tindakan yang dilakukannya, apabila dirinya ingin
memperoleh martabatnya. Hal ini diterima oleh Aristoteles yang menganut paham
realis, dengan mengatakan bahwa nilai-nilai universal yang diidealkan Plato
memungkinkannya untuk dibawa turun dari langit, untuk diberi makna dan
diterapkan secara obyektif.
Negara adalah insitusi alamiah, hal itu terkait dengan
watak yang bisa melekat pada hewan, manusia atau keluarga yang sifatnya
alamiah. Watak menurut Aristoteles berhubungan dengan tujuan, artinya tujuan
manusia sebagaimana semua manusia lainnya adalah untuk pemenuhan wataknya.
Dalam bukunya
Ethics, Aristoteles menekankan bahwa tujuan alamiah manusia yang memenuhi
wataknya adalah kebahagiaan. Kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai dengan
mengupayakan kehidupan moral dan kebaikan intelektual. Menurut Aristoteles,
pelacakan sungguh-sungguh terhadap watak manusia merupakan suatu hal pokok penting
dalam filsafat politiknya.
WATAK NEGARA
Hakikat negara, menurut Aristoteles adalah sebagai
komunitas keluarga dan kumpulan keluarga yang sejahtera demi kehidupan yang
sempurna dan berkecukupan. Bertolak dari logika induktifnya yang terkait dengan
kehidupan manusia, bahwa manusia mula-mula hidup secara terpisah, kemudian
meningkat menjadi kelompok-kelompok keluarga yang bersama-sama menyatu dalam
komunitas desa untuk saling membantu dan saling melindungi. Maka mereka
berkembang ke arah lebih meluas, lebih besar, membentuk suatu negara kota.
Dengan terbentuknya negara ini maka manusia dapat mencukupi kebutuhan dirinya
bersama-sama dengan lainnya.
Aristoteles dalam konsep organik tentang negara
menyatakan bahwa suatu himpunan sebagaimana halnya himpunan lainnya terdiri
dari banyak bagian, yang masing-masing bagian memiliki tempat dan fungsinya
sendiri dan bekerja sama dengan yang lain demi kebaikan struktur secara
keseluruhan. Namun ada segi perbedaan dalam hal penyatuan alasan sebagai hak
milik kelompok komunisme sebagaimana yang dikonsepkan plato dan Aristoteles
menolak dalam hal ini.
Negara pada hakikatnya terdiri atas individu-individu,
kelompok-kelompok keluarga, dan lembaga-lembaga sukarela yang masing-masing
bertindak secara independen. Esensi kesatuan negara terletak pada suatu
komunitas pikiran, kehendak, dan tujuan dari bagian anggota-anggota individu.
Doktrin filsafat politik Aristoteles berupaya
mempertahankan substansi pluralitas dalam negara, dan menjadikan tubuh politik
sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian fungsional yang beragam dan
komplementer yang semuanya ini disatukan oleh pencapaian tujuan umum dimana
watak manusia mendorong mereka untuk saling bekerjasama.
TUJUAN NEGARA
Adanya suatu negara dilatar belakangi oleh adanya
kebutuhan hidup yang nyata, tak bisa dihindari, tidak dapat tidak mutlak harus
dijalani. Kebutuhan hidup ini kemudian dilanjutkan lewat perjuangan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Negara dibentuk, tujuan yang paling esensial bahwa negara
harus peduli terhadap karakter warganya. Negara harus mampu mendidik dan
membiasakan mereka dalam kebijakan, memebrikan kesempatan kepada mereja untuk
meraih hal-hal yang bernilai ekonomi, moral dan intelektual. Negara mempunyai
syarat untuk perkembangan manusia secara utuh agar dapat memuaskan secara etik
bagi warganya.
KEKUASAAN
DAN MACAMNYA
Dalam kajiannya
terhadap negara polis, yang dikaji Aristoteles adalah manusia sebagai unsur
pokok dalam negara, kemudian beralih pada bagian yang lebih besar yaitu rumah
tangga atau keluarga dan akhirnya kepada negara itu sendiri. Bagi Aristoteles
negara didirikan dari rumah tangga oleh karena itu sebelum berbicara tentang
negara, terlebih dahulu berbicara tentang manajemen keluarga.
Dalam keluarga
terdapat tiga hubungan yang terkenal: (1) Majikan dan budak; (2) Suami dan istri; (3) Ayah dan anak. Masing-masing
hubungan itu mempresentasikan aturan yang berbeda. Aturan majikan dan budak disebut despotik, yaitu budak wajib
mentaati perintah sang majikan, jadi bersifat pemaksaan. Aturan suami dan istri
disebut konstitusional, yaitu suatu aturan yang mengandung kesetaaraan hak dan
kewajiban. Secara substansial aturan yang dikenakan pada suami dan istri harus setara. Hubungan ketiga antara
ayah dan anaknya disebut aturan royal. Aturan
ini berkaitan dengan kebaikan sang anak. Anak secara alamiah
kedudukannya setara dengan ayahnya.
WARGA
NEGARA
Warga negara,
menurut Aristoteles adalah manusia yang keberadaanya menjadi komponen politik
dari suatu negara. Negara merupakan suatu himpunan yang lain yang terdiri dari
berbagai bagian, dan bagian-bagian ini adalah warga yang membentuk menjadi
sebuah negara. Menurut Aristoteles yang berhak menjadi warga negara tidak
mencakup semua anggota dari sebuah
negara. Mereka yang tidak memiliki kualitas penalaran dan karakter yang
diperlukan untuk membimbing kehidupannya ke arah kebajikan tidak seharusnya
diberi kepercayaan dengan menempati jabatan politik. Sedangkan bagi mereka yang
secara alamiah diposisikan sebagai budak, pekerja, pedagang, petani, tidak
seharusnya dimasukkan dalam kategori warga negara. Orang yang setiap harinya
bekerja keras seperti petani, pedagang, mekanik tidak memiliki kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan mengenai urusan publik dan tidak mampu mengupayakan
kebajikan yang sangat esensial dalam kehidupan politik.
Orang yang bekerja
sebagai ahli atau produsen pada hakikatnya juga bukan termasuk bagian dari
negara. Dengan kemampuannya menyediakan kebutuhan material bagi kepentingan
masyarakat, memungkinkan mereka dijuluki sebagai kelas yang sibuk dan terlatih,
sehingga mereka bisa diberi kepercayaan untuk memegang administrasi urusan
publik untuk mendukung dan memperlancar jalannya pemerintahan suatu negara.
PEMERINTAHAN
DAN BENTUK-BENTUKNYA
Aristoteles
membedakan tiga jenis kekuasaan, yaitu aturan despotik sebagai bentuk
peraturan tirani, konstitusional sebagai
bentuk peraturan buat kalangan yang setara, royal sebagai bentuk peraturan buat
kalangan yang setara, royal sebagai bentuk peraturan monarki yang bijak. Dalam
kaitan ini Aristoteles dalam bukunya Politics, mengajukan teori pemerintahan yang bentuknya ada 6 skema
pemerintahan. Keenamnya adalah tiga bentuk konstitusi yang benar, yaitu
monarki, aristokrasi, dan demokrasi moderat; dan tiga yang lain yaitu tirani,
oligarki, dan demokrasi ekstrem atau hukum rimba.
Dalam kelompok
pertama aturan ditegakkan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat, sedangkan
kelompok kedua hanya ditujukan untuk pemenuhan kepentingan pribadi pemegang
kekuasaan. Menurut Aristoteles oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang
dikendalikan oleh orang-orang kaya, sedangkan demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan yang dikendalikan oleh orang kaya.
Faktor ekonomi dan
politik mempunyai hubungan yang sangat dekat. Kedekatan hubunganini sebagaimana
dijelaskan dalam analisisnya tentang kekuasaan dan politik. Pertama, didasarkan
atas hak kepemilikan, dimana kedudukan politik manusia dinilai menurut andilnya
di masyarakat; Kedua, didasarkan atas kesejahteraan masyarakat dimana hak-hak
politik mereka setara antara yang satu dengan yang lain. Kekayaan hanya
dimiliki oleh sedikit orang. Kekayaan dan kebebasan merupakan dasar dari sistem
pemerintahan oligarkis dan demokratis yang memegang kekuasaan secra
berturut-turut.
NEGARA
Dalam bukunya
politics jilid VII aristoteles menjelaskan bahwa bentuk pemerintahan yang
terbaik adalah yang paling kondusif bagi kebahagiaan hidup rakyatnya. Naun
pengalaman dan kajian empiriknya menambah keyakinan dirinya bahwa tidak ada
satu model pemerintahanpun yang bisa benar-benar memenuhi harapan rakyat yang
berlainan dalam sejarah yang berbeda. Negara ideal, sebagaimana yang dipikirkan
oleh plato mungkin merupakan aktivitas intelektual yang baus, naun hal ini
tidak cukup untuk urusan dunia keseharian, karna kunci utama keberhasilan suatu
negara jugaterletak pada negarawan sejati. Oleh karenaitu, bagi Aristoteles,
negarawan sejati tidak hanya diperkenalkan tentang konsep negara ideal, negara
terbaik yang sifatnya abstrak semata-mata, tetapi jugaterbaik menurut
keadaannya, terbaik menurut rakyat dimana mereka hidup.
Hal demikian itu
didasari oleh suatu pemikiran bahwa, yang membuat konstitusi agar bisa relevan
dan bisa diterima maka harus melibatkan watak dan tradisi rakyat dan lingkungan
tempat mereka tinggal. Para pakar politik tidak bisa mendirikan negara menurut
preferensinya sendiri, tetapi ia harus menemukan pola yang sesuai dengan
realitas kehidupan masyarakat, bukan dalam dunia metafisik. Jika hak untuk
memerintah dalah kebajikan, maka dalam negara ideal harus diperintah oleh
orang-orang yang bijak. Bagi aristoteles, pemikiran tentang negara yang
realistis dan bisa dipraktekkan adalah negara yang ia sebut polity atau
pemerintah konstitusional. Konsepnyaitu sejalan dengan substansi demokrasi
moderat, yang didalamnya terdapat jabatan-jabatan penting yang diduduki oleh
orang-orang yang terpercaya. Aristoteles menggolongkan pemerintahan ini sebagai
penggabungan oligarki dan demokrasi. Meskipun demikian, Aristoteles seringkali
memberikanapandangannya bahwa ia lebih dekat pada bentuk arstokrasi.
Ciri pokok negara
yang paling bisa dipraktekkan, menurut Aristoteles adalah bahwa kelas menegah
menjadi solusi perimbangan kekuatan antara yang kaya dengan yang miskin, agar
salah satu pihak tidak ada yang dominan. Tiga unsur dalam setiap negara itu di
antanya kelas sangat kaya, kelas sangat miskin dan kelas menengah. Kelas
menegah sebagai unsur yang terbaik dan ideal, oleh karenaitu komunitas politik
yang terbaik adalah ditentukan oleh kelas menengah, agar suatu negara dalam
menyusun administrasinya juga menjadi baik. Baiknya administrasi ini karena
kelas menegah jumlahnya relatif cukup besar dan lebih kuat, sehingga mampu
menjadi motor penggerak untuk mengendalikan pemerintahan dalam negara. Warga
negarayang menjadi kelas menegah akan lebih aman jika diserahi tugas untuk
mengendalikan pemerintahan dalam negara tersebut. Hal ini karenamereka tidak
merasa iri terhadap yang lain, sebagaimana yang terjadi dalam kelas orang kaya
yang merasa iri terhadap tetangganya yang kaya, dan orang miskin yang iri
terhadap orang kaya. Ketika suatu negara, di dalamnya tanpa ada kelas menengah,
kemudian terjadi dominasi kelas orang kaya terhadap kelas miskin dan
sebaliknya, yang akhirnya timbul konfrontasi antara keduanya, maka negara akan
terbagi secara pasti kedalam kaum-kaum yang saling bermusuhan.
Pemerintahan demokratik
bagi Aristoteles, bukanlah sesuatu yang ideal melainkan hanyauntuk pemerintahan
yang bisa diterima dan bisa dijalankan. Menurut Aristoteles, bahwa sistem
demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paing sesuai dengan watak manusia
baik dari sudut pandang teoeritik maupun praktik. Sedangkan sstem monarki
kerajaan merupakan bentuk pemerintahan yang ideal, tetapi hal itu tidak bisa
dicapai, diwujudkan. Kesetaraan dalam urusan publik yang dikonsep oleh
Aristoteles ditentukan oleh para anggota warga negara. Namun hal ini ada
kelompok yang dikesapingkan seperti budak, mekanik, pekerja, pedagang, dan
petani. Karnakelompok ini tugasnya sebaai pendukung demi kelancaran jalannya
pemerintahan dalam suatu negara. Dalam hal mengelola atau mengurusi masalah yang
berkaitan dengan urusan administrasi negara, Aristoteles menyadari bahwa hal
itu perlu ditangani oleh ahli-ahli bidang tersebut dan tidak bisa ditangani
oleh bakat amatiran. Kelompok ahli, pakar intelektual, menjadi pilihan untuk
menangani urusan publik karena mereka menyandang keahlian dalam hal manajerialnya
dan ketrampilan teknisnya.
Mengenai batasan
tentang negara yang bisa dipraktekkan, Aristoteles berpegang pada ukuran suatu
negara. Ukuran suatu negara yang tepat hanya bisa diketahui lewat pengalaman
empirik. Jumlah orang yang menjadi warga negara dala suatu negara harus
memenuhi standar ukuran yang cukup, jangan terlau sedikit dan jangan terlalu
banyak. Jumlah yang relatif cukup itu agar antar warga negara bisa saling
mengetahui, saing mengenal, saling mengetahui karakter satu sama lain. Jikahal
itu bisa terpenuhi maka ketikamereka sebagai warga yang berkualitas, memiliki
pengetahuan yang berkaitan dengan urusan negara diserahi tugas untuk mengelola
negara maka akan mendatangkan manfaat besar bai kehidupan rakyatnya.
HUKUM
Aristoteles,
mendapat predikat sebutan negarawan hebat pertamabagi tradisi besar
pemerintahan konstitusional, suatu pemerintahan bersifat terbatas tetapi tidak
absolut, dan patuh pada hukum. Menurut Aristoteles, orang yang menawar aturan
hukum bisa dianggap sebagai orang yang menawar aturan Tuhan dan nalar.
Sedangkan orang yang menawar aturan manusia berarti menambah satu unsur
kejahatan, karena nafsu sebagai wujud kejahatan liar manusia maka akan membuat
sesat pikiran bai penguasa, meskipun mereka adalah orang baik-baik. Jadi nafsu
dipersepsi Aristoteles sebagai hal negatif.
Aturan hukum,
dipandang sebagai alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas
keinginan yang benar. Aristoteles menilai bahwa memberikan kekuasaan tak
terbatas kepada penguasa maka akan membawa akibat yang berbahaya dalam
kehidupan. Dalam kondisi seperti ini nafsu manusia mendominasi unsur
rasionalitas, yang pada gilirannya menghasilkan aturan hukum yang aitret dan
egois.
Pengetahuan ilmiah
saja tidak cukup untuk menjain aturan yang baik, ilmu politik tidak bebas dari
syarat-syarat akan keinginan yang tidak benar. Untuk itu, sarana penunjang
sebagai syarat untuk terwujudnya kehidupan yang lebih baik perlu dipikirkan,
agar penyimpangan hasrat manusia yang memegang kekuasaan dapat dicegah. Oleh
karenaitu, bai merekayang diberi kepercayaan memegang kekuasaan politik harus
mampu menjalankannya sesuai dengan hukum yang ditetapkan.
Aristoteles
memasukkan ke dalam tatanan hukum ini tidak hanya pada undang-undang badan
legislatif saja tetapi jugahukum adat dan hukum alaiah. Harapan Aristoteles,
bahwa setiap badan pemerintahan harus secarakontinu memberikan respek yang
semestinya terhadap konstitus atau pandangan hidup rakyatnya.
Konsep aturan hukum
atau pemerintahan terbatas yang diciptakan Aristoteles menjadi salah satu ciri
yang dominan bagi kehidupan politik negara barat. Diperkuat dengan konstitusi
tertulis, undang-undang hak asasi, peninjauan hukum dan semacamnya, ia
membentuk dasar pemerintahan demokratik modern.
PERBUDAAN
ALAMIAH
Budak alamiah,
digambarkan Aristoteles sebagai orang yang secara alamiah bukan milik dirinya
melainkan milik orang lain. Dia secaraintelektual termasuk kelompok inferioe
yang memiliki kekurangan dalam kebijakan atau keputusan praktis sehingga tidak
bisa memimpin dirinya. Individu semacam ini tidak bisa bertindak secara
rasional atas inisiatifnya sendiri, oleh karena itu ia membutuhkan arahan dan
bimbingan orang lain jika ia ingin hidup secara benar. Posisi budak bisa
mencapai perkembangan mental dan moral tertingginya yang ia mampu, naun hal itu
bukan disebabkan ketika ia bebas berbuat sesuatu naun lebih disebabkan ketika
ia menempati posisinya sebagai budak menjadi maikan yang dihormati.
Dianalogikan oleh Aristoteles, jika tubuh diperintah oleh jiwayang baik, maka
tidak ada alasan untuk menolak bahwa budak juga memiliki kebaikan dalam hal ia
diperintah oleh majikan.
Perbudakan kedua yang
dikonsep Aristoteles didasari oleh aturan hukum atau konvensi. Perbudaan
semacam ini melanggar asas keadilan, karena didasarkan atas kekuatan belaka,
bukan alamiah, sehingga sifatnya berupa penindasan hak asasi manusia. Banyak
diantara budak-budak ini yang meiliki keputusan rasional, bahkan banyak
diantara mereka yang secara intelektual dan dalam hal kebaikan bahkan melebihi
kemampuan maikannya. Kebudakan merekameskipun disebabkan oleh perang atau
melalui pembelian, bisa dibenarkan bilamana jika secara watak, secara kodrati,
memang budak.
Aturan yang dibuat
oelh majikan, bukanlah suatu aturan yang bersifat konstitusional yang
menempatkan hak dan kewaiban dala posisi setara, tetap lebih mencerminkan suatu
aturan yang lebih menguntungkan pihak majikan. Merekatidak memiliki hak, karena
hak mereka dirampas oleh majikan. Yang mereka miliki hanya berupa kewajiban
saja, yaitu kewajiban untuk melayani maikannya. Sedangkan haknya tergantung
padamaikan, tergantung pada kerelaan majikan, tergantung pada rasa iba majikan.
Jika semuaini tidak diperoleh, maka hak-hak itu hanya menjadi impian
budak-budak belaka. Perlakuan terhadap budak seperti itu dari sudut pandang HAM
merupakan suatu pelanggaran. Karenasebaai manusia, dia berhak untuk memperoleh
perlindungan komunitas politik dari perlakuan keja dan penganiayaan.
Bagi Aristoteles,
hubungan antara majikan dan budak dipahami sebagai hubungan yang tetap
menggunakan nilai-nilai manusiawi sebagai dasarnya. Oleh karena itu majikan
memperlakukan budaknya dengan cara yang baik bermoral dan bijak, dan hak-haknya
dihargai sebagaimana layaknya manusia. Hubungan demikian ini bersifat alamiah,
hubungan yang bersifat persahabatan dan memiliki kepentingan bersama. Namun
jika hubungan mereka, antara majikan dan budak itu didasari oleh aturan hukum
dan kekuatan makan akan melahirkan perilaku penindasan.
B. Hubungan
pemikiran politik aristoteles dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Adanya hubungan
antar manusia, negara, ruang, hidup jika dilihat dari sudut pandang ideologi
Pancasila, tidak sama dengan dengan negara liberal yang setiap manusia butuh
negara, sedangkan negara butuh ruang hidup sehingga Frederick Ratzel dan
Kjellen bahwa negara seperti organisme untuk hidup
Wawasan nusantara tersirat dalam UUN 1945 antara lain:
1.
Ruang hidup bangsa
terbatas diakui internasional
2.
Setiap bangsa sama
derajatnya, berkewajiban menjaga perdamaian dunia
3.
Kekuatan bangsa
untuk mempertahankan eksistensi dan kemakmuran rakyat
Sebagai faktor
eksistensi suatu negara wilayah nasional perlu ditentukan batas-batasnya agar
tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Oleh karena itu pada umumnya
batas-batas wilayah suatu negara dirumuskan dalam konstitusi negara (baik
tertulis maupun tidak tertulis). Namun UUD’45
tidak memuat secara jelas ketentuan wilayah negara Republik Indonesia, baik
dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya menyebut wilayah/daerah yaitu :
1. Pada Pembukaan
UUD’45, alinea IV disebutkan “…..seluruh tumpah darah Indonesia…..”
2. Pasal 18,
UUD’45 : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ……………”
Untuk menjamin
pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan nasional
dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah.
Ketegasan batas wilayah tidak saja untuk mempertahankan wilayah tetapi
juga untuk menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional. Wujud geomorfologi Indonesia berdasarkan
Pancasila dalam arti persatuan dan kesatuan menuntut suatu konsep kewilayahan
yang memandang daratan/pulau, lautan serta udara angkasa diatasnya, sebagai
satu kesatuan wilayah. Dari dasar inilah laut bukan lagi sebagai alat pemisah
wilayah
Landasan
Konsepsi Wawasan Nusantara
Menganut dasar
filosofi dasar geopolitik indonesia dan wawasan kebangsaan yang mengandung tiga
unsur yaitu: rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan.
UUD 1945 merupakan landasan utama karena mengandung
nilai-nilai:
1.
Penghayatan dan
hakikat martabat bangsa
2.
Kesepakatan /
cita-cita nasional
3.
Kebulatan tekad
untuk mencapai tujuan nasional
4.
Mempertahankan dan
memperjuangkan kepentingan nasional
Tujuan dan Asas
Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan yang dijiwai
kekeluargaan dan rasa kebersamaan bangsa indonesia dalam ketertiban dan
perdamaian dunia. Tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi,
posisi dan potensi geografi serta kebhinnekaan budaya. Pedoman pola tindak dan
pikir kebijakan nasional dengan hakikat persatuan dan kesatuan dalam
kebhinekaan. Asas-asas wawasan nusantara yaitu: Asas Kepentingan Bersama, Asas
Keadilan, dan Asas kesetiaan terhadap kesepakatan
Tujuan negara Indonesia tercantum dalam Alenia ke-IV pPembukaan UUD1945
yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia.
Wilayah
Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
1.
Masa
Penjajahan (Belanda dan Jepang).
Dasar : Ordonansi Laut Teritur dan Lingkungan Maritim
no 442/1939 (Territoriale Zee en Maritiem Kringen Ordonantie no. 442/1939)
Ukuran :
3 mil dari garis pantai pada saat pasang surut (low water)
Luas Wilayah : + 2
juta km2
2.
Setelah Proklamasi
s/d 13 Desember 1957
Dasar: Ketentuan Peralihan UUD 1945, Konstitusi RIS,
UUDS 1950, tetap berlaku Ordonansi no 442/1939.
3.
Deklarasi Pemerintah
R.I. tanggal 13 Desember 1957 (Deklarasi Juanda)
Dasar :
Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957
PEPERPU no 4/1960 tentang Perairan Indonesia
Ukuran : 12 mil dari garis pangkal (point to point
theory)
Luas Wilayah : bertambah + 3,9 juta km2, menjadi 5,9 juta
km2
4.
Deklarasi
Pemerintah R.I. tanggal 17 Februari 1969 (Landas Kontingen)
Dasar :
Deklarasi Pemerintah RI tanggal 17 Februari 1969
UU no 1/1973 tentang Landas Kontingen
Luas Wilayah
: Bertambah + 0,8 juta km2, menjadi +
6,7 juta km2
5.
Pengumuman
Pemerintah R.I. tahun 1980 (Zona Ekonomi Eksklusif)
Dasar : Pengumuman Pemerintah tentang Zone Ekonomi
Eksklusif UU no 5/1983 tentang Zone Ekonomi Ekslusif (Pembenahan Kekayaan Alam dan Potensi Alam)
Luas Wilayah :
Bertambah + 2,5 juta km2, menjadi + 9,2 juta km2
Geopolitik
Indonesia
Hakekat geopolitik
indonesia yaitu mempertajam arah yang dituju dalam rangka pencapaian tujuan
nasional sesuai dengan situasi, kondisi dan konstalasi geografi indonesia.
Geopolitik dalam
penentuan kebijakan yaitu untuk menjamin kepentingan nasional dalam
mempertahankan NKRI, kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa serta lancarnya
pembangunan nasional. Konsep bangsa indonesia berdasarkan pancasila yang
melihat manusia, negara dan rung hidup sebagai anugrah tuhan yang harus
diterima dan disyukuri.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Konstalasi geografi
sebagai ruang hidup, multi etnik, budaya, agama dan berbagai perbadaan lainnya
dalam pandangan politik aristoteles meliputi watak negara, tujuan negara,
kekuasaan dan macamnya, warga negara, pemerintah dan bentuk-bentuknya, negara,
hukum,dan perbudaan alamiah. Jika dihubungkan dengan negara indonesia yang
berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 membetuk kesadaran bersama untuk hidup sebagai
satu bangsa yang tercantum dalam wawasan nusantara.
B. Saran
Menurut kelompok kami, dalam pandangan aristoteles seperti membentuk negara
ideal yang tidak berbeda jauh dengan NKRI dalam wawasan nusantara, tetapi harus
lebih di sosialisasikan kepada seluruh warga negara, karena negara tidak bisa
lepas dari negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Sunardi R.M. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam
rangka memperkokoh ketahanan NKRI. Jakarta: Kuaternita Adidarma.
Suyahmo. 2016. Filsafat Politik. Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama
Zulkarnain. 2012. Geopolitik dan Wawasan Nusantara. PPRA
XLVIII