BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Adanya
peristiwa Gerakan 30 September 1965 keadaan politik dan keamanan Negara menjadi
kacau ditambah dengan adanya konflik di Angkatan Darat yang sudah berlangsung
lama. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi
menuntut agar PKI beserta organisasi masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya
diadili. Kesatuan aksi (KAMI, KAPI, KAPPI ,KASI, dsb.) yang ada di masyarakat
bergabung membentuk kesatuan aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya
lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghancurkan tokoh yang terlibat
dalam Gerakan 30 September 1965. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari
solusi dari masalah yang sedang bergejolak tidak juga berhasil. Maka Presiden
mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi
Letjen Soeharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi
keadaan Negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan. Atas dasar Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 ini, maka lahirlah Orde Baru
Pembahasan
mengenai Orde Baru yang simpang siur memperlihat ketidakpastian masa Orde Baru.
Orde Baru yang dikatakan lebih baik daripada sekarang sehingga muncul kata-kata
“Piye, Penak zamanku to?” ataupun pemberitaan bahwa masa Orde Baru merupakan
masa Penindasan yang terdapat banyak pembunuhan.
Saat
ini kebeneran yang terjadi pada masa orde baru masih belum jelas. Banyak
kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok yang mencoba memanfaatkan
peristiwa Orde Baru kiranya perlu untuk membahas Orde Baru, yang diberi judul
“PANCASILA DAN ORDE BARU”.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah
yang dimaksud Orde Baru?
2. Bagaimana
Perbedaan antara Orde Lama dengan Orde Baru?
3. Bagaimana
Penerapan Pancasila pada masa Orde Lama
dan Orde Baru?
4. Bagaimana
Sistem Kelembagaan Negara masa Orde Baru?
5. Bagaimana
hubungan antar Lembaga Negara masa Orde
Baru?
6. Bagaimana
Stabilitas Politik dan Fusi Partai pada masa Orde Baru?
7. Bagaimana
Pancasila sebagai Asas Tunggal Orde Baru?
8. Bagaimana
gaya kepemimpinan masa Orde Baru rezim Soeharto?
9. Bagaimana
keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
10. Bagaimana
Runtuhnya Orde Baru?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud orde baru
2. Untuk
mengetahui Perbedaan Orde Lama dengan Orde Baru
3. Untuk
mengetahui Penerapan Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru
4. Untuk
mengetahui Kelembagaan Negara masa Orde Baru
5. Untuk
mengetahui Hubungan antar Lembaga Negara
masa Orde Baru
6. Untuk
mengetahui Stabilitas Politik dan Fusi Partai pada masa Orde Baru
7. Untuk
mengetahui Pancasila sebagai Asas Tunggal Orde Baru
8. Untuk
mengetahui gaya kepemimpinan masa Orde Baru rezim Soeharto
9. Untuk
mengetahui keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan
Soeharto
10. Untuk
mengetahui faktor penyebab runtuhnya Orde Baru
D.
MANFAAT
1. Menjadi
bahan bacaan oleh para mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila
dan Orde Baru
2. Pembaca
dapat mengetahui penerapan Pancasila pada masa Orde Baru
3. Mendorong
Pembaca khususnya Mahasiswa menjadi lebih paham tentang Pancasila dan Orde Baru
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Orde Baru
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 - Jakarta, 27 Januari 2008) adalah Presiden
Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Secara informal, "Pak
Harto" juga dipakai untuk menyapanya. Ia mulai menjabat sejak keluarnya
Supersemar sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai
Presiden pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto
dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada
tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan
pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia
terlama dalam jabatannya sebagai presiden.
Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela. Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah
Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada
tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran
dan larangan bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau
senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan
ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris
MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI beserta
ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada
tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui
Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk
MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat G 30 S/PKI. Keanggotaan
PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan
sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR
sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga
memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan
DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.
B.
Perbedaan antara Orde Lama dengan Orde
Baru
Aspek
|
Orde
Lama
|
Orde
Baru
|
Ekonomi
|
Orientasi
Sosialis
|
Orientasi
Kapitalis
|
Politik
|
Emosi
nasionalisme sangat tinggi, ingin terlihat unggul di depan bangsa lain
|
Membangun
ekonomi dan membuka ruang bagi modal asing
|
Stabilitas
Politik dan Ekonomi
|
Inflasi
sangat tinggi
|
Menurunkan
tingkat inflasi
|
SDM
|
Sangat
terbatas
|
Meningkatnya
presentasi masyarakat terpelajar
|
Sosial
Budaya
|
Transisi
dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka
|
Kebebasan
berbicara, bersikap, dan bertindak, namun menimbulkan primordialisme
|
C. Penerapan Pancasila pada masa
Orde Lama dan Orde Baru
ORDE LAMA
Pada
masa Orde lama,
Pancasila dipahami berdasarkan
paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu
kondisi politik dan
keamanan dalam negeri
diliputi oleh kekacauan
dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat
merdeka. Masa orde lama adalah masa
pencarian bentuk implementasi Pancasila
terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila
diimplementasikan dalam bentuk
yang berbeda-beda pada
masa orde lama
Periode 1945-1950
konstitusi yang
digunakan adalah Pancasila
dan UUD 1945
yang presidensil, namun dalam
praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan. setelah penjajah
dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan.
upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948
dan oleh DI/TII yang
akan mendirikan negara dengan
dasar islam.
Periode 1950-1959
penerapan Pancasila selama periode
ini adalah Pancasila
diarahkan sebagai ideology
liberal yang ternyata tidak menjamin
stabilitas pemerintahan. walaupun
dasar negara tetap
Pancasila, tetapi rumusan sila
keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Dalam bidang
politik, demokrasi berjalan lebih
baik dengan terlaksananya pemilu 1955
yang dianggap paling demokratis
Periode 1956-1965
Dikenal
sebagai periode demokrasi
terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang
memimpin adalah nilai-nilai
Pancasila tetapi berada
pada kekuasaan pribadi
presiden Soekarno.
Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran
terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter,
diangkat menjadi presiden seumur hidup,
politik konfrontasi, dan menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang
ternyata tidak cocok
bagi NKRI. Terbukti adanya
kemerosotan moral di sebagian
masyarakat yang tidak
lagi hidup bersendikan
nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan
ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila,
Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut
USDEK. Untuk memberi
arah perjalanan bangsa, beliau
menekankan pentingnya memegang
teguh UUD 45, sosialisme ala
Indonesia, demokrasi terpimpin,
ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional.Hasilnya terjadi
kudeta PKI dan
kondisi ekonomi yang memprihatinkan.Ketahanan Nasional dapat
diartikan sebagai kondisi dinamis suatu Bangsa, berisi keuletan dan
ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam
menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang
dari dalam maupun dari luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mengejar tujuan nasionalnya.
ORDE BARU
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde
lama yang telah menyimpang dari Pancasila melalui P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa.
Orde Baru berhasil mempertahankan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham
komunis di Indonesia. Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat
mengecewakan. Beberapa tahun kemudian
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila. Pancasila
ditafsirkan sesuai kepentingan
kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain.
Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi
dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah
atau negara.
Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideologi
yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu
loyalitas tunggal pada
pemerintah dan demi
persatuan dan kesatuan hak-hak
demokrasi dikekang.
Sosialisasi
Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain dengan
melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara formal juga
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat.
Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan
untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah
pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai
Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam
kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar
1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri
menjadi tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Sisi gelap pelaksanaan
Pancasila
Orde Lama
Sila
keempat yang mengutamakan
musyawarah dan mufakat tidak
dapat dilaksanakan, sebab
demokrasi yang diterapkan
pada tahun 1945 -1950 adalah demokrasi parlementer, dimana presiden
hanya berfungsi sebagai kepala negara,
sedang kepala pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Sistem
ini menyebabkan tidak adanya
stabilitas pemerintahan.
Sistem pemerintahan tahun 1950-1959 yang
liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual.
Anggota
Konstituante hasil pemilu
tidak dapat menyusun UUD
seperti yang diharapkan.
Hal ini menimbulkan
krisis politik, ekonomi, dan
keamanan.
Periode 1959-1965 menerapkan
demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan
berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila
tetapi berada pada
kekuasaan pribadi presiden
Soekarno.
Bung
Karno melakukan pemahaman
Pancasila dengan paradigma
yang disebut USDEK dan menyebarkan Nasionalis, Agama,
dan Komunis.
Ada upaya-upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar egara dengan faham komunis oleh PKI melalui
pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang akan mendirikan egara
dengan dasar islam.
Orde Baru
Presiden
Soeharto menjabat selama 32 tahun
Terjadi penafsiran sepihak terhadap
Pancasila oleh rezim Orde Baru melalui program p4
Adanya penindasan ideologis, sehingga
orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut.
Adanya penindasan secara fisik seperti
pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung
Priok, pengrusakan/ penghancuran pada kasus 27 Juli dan seterusnya.
Perlakuan diskriminasi oleh negara juga
dirasakan oleh masyarakat non pribumi (keturunan) dan masyarakat golongan
minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan acapkali mereka hanya dijadikan
sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No.
11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai
penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan
dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Dalam hal ini
hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi
itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru.
Ditinjau dari segi demokrasi sebagai
wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi
itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah
partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis
demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya.
Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang
berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus
Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus
Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
D.
Sistem Kelembagaan Negara masa Orde Baru
1. Indonesia
adalah Negara hukum
Negara Indonesia berdasar hukum (rechsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuassaan belaka(machtsaat). Negara di dalamnya terdiri dari
lembaga-lembaga Negara melaksanakan tugasnya berdasarkan hukum.
2. Sistem
Konstitusional
Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi atau
hukum dasar. Sistem ini memberi ketegasan akan pengendalian pemerintahan negara
yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan.
3. Kekuasaan
Negara tertinggi adalah MPR
Kedaulatan
rakyat di pegang oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Tugas MPR, yaitu :
a. menetapkan
undang-undang dasar
b. menetapkan
GBHN
c. mengangkat
kepala Negara dan wakilnya
4. Presiden
sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi menurut UUD
Presiden dalam menjalankan pemerintahan, tanggung
jawab penuh ada ditangan presiden. Presiden tidak hanya dilantik dari majelis
dan juga melaksanakan kebijakan dari GBHN ataupun ketetapan MPR.
5. Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Kedudukan presiden degan DPR dan presiden membentuk
undang-undang dan APBN. presiden bekerja sama dengan DPR, presiden tidak
bertanggung jawab kepada dewan. Presiden juga tidak bisa membubarkan DPR.
6. Menteri
Negara
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri Negara. Menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR dan
kedudukannya tidak tergantung dari dewan, tapi tanggung jawab kepada presiden.
7. Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak-terbatas.
8. Dewan
Perwakilan Rakyat
E.
Hubungan
antar Lembaga Negara masa Orde Baru
Masa orde baru hubungan dan kedudukan
antara eksekutif dan legeslatif dalam sistem UUD 1945, sebetulnya telah diatur,
kedua lembaga tersebut sama akan kedudukannya. Pemerintahan pada masa orde
baru, kekuasaan eksekutif lebih dominan terhadap semua aspek kehidupan
pemerintahan dalam negara kita. Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat
legimilitasi konstitusional, karena dalam penjelasan umum UUD 1945 bahwa
presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah majelis.
Presiden juga memiliki kekuasaan diplomatik. Kekuasaan pada masa orde baru pada
presiden begitu besar sehingga presiden Soeharto bisa menjabat presiden seumur
hidup. DPR sebagai lembaga pengawasan tidak berjalan secara efektif.
F.
Stabilitas
Politik dan Fusi Partai pada masa Orde Baru
Orde
Baru dapat melegitimasi setiap kebijakannya dengan dalih pamungkas stabilisasi
dan pembangunan ekonomi. Kebijakan fusi partai menjadi salah-satu contohnya.
Kompetisi yang begitu ekstrem antar partai politik dengan jumlah tidak sedikit
dan dari berbagai kutub ideologi yang berseberangan dipandang sebagai salah
satu sumber instabilitas politik. Jika demikian hasil diagnosanya, maka resep
ampuh yang perlu diramu guna menciptakan stabilitas adalah dengan
deidiologisasi dan mengamputasi jumlah kompetitor partai politik dalam
perebutan kekuasaan. Dari sini, kita dapat memahami latar belakang kebijakan
fusi partai.
Fusi
partai pada 1973 mengerucutkan jumlah partai menjadi dua saja plus satu
Golongan Karya dalam pemilu 1997 sampai pemilu-pemilu berikutnya. Lima partai;
PNI, IPKI, Murba, Partai Katholik, dan Parkindo difusikan ke dalam tubuh Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) sementara empat lainnya; NU, Parmusi, Perti dan PSII
melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian, kontestan
peserta menjadi lebih ramping. Otomatis asumsinya akan lebih stabil dan
percekcokan antar partai akan lebih kecil terjadi dalam jumlah partai yang
sedikit daripada jika jumlah partai tetap banyak.
G.
Pancasila
sebagai Asas Tunggal Orde Baru
Pancasila menjadi sebuah ladang pembelajaran
dan cita-cita dari sebuah bangsa yang begini besar. Bangsa yang berpenduduk
ratusan juta orang, bergaris pantai ribuan kilometer, dan mempunyai belasan
ribu pulau. Namun ironi mulai terjadi ketika Pancasila sebagai buah ide
nasionalisme kebangsaan kemudian diperalat dan digunakan sebagai corong
pembenaran penguasa. Pancasila ditempatkan sebagai sebuah ideologi yang
superior, seakan-akan ideologi lain adalah sampah dan hanya Pancasila yang
mampu menyelamatkan bangsa ini. Namun, yakinlah ketika Pancasila hanya
dijadikan alat memuluskan kekuasaan dan kediktatoran seorang penguasa, sampai
matipun Pancasila tidak akan dapat dijadikan pandangan dan dasar hidup manusia
Indonesia yang merdeka. Lagi pula, Orde Baru sebagai garda utama dalam
pengamalan dan penanaman Pancasila juga tak mampu menahan diri untuk
mengkhianati Pancasila. Menakut-nakuti rakyat dengan senjata, pengaturan
pemilihan umum, korupsi yang bersifat begitu masif, bagi-bagi proyek nasional
pada sanak saudara, dan menekan kebebasan berpolitik warganya adalah juga
bentuk pengkhianatan Pancasila pada masa Orde Baru oleh penguasa
H.
Gaya
Kepemimpinan masa Orde Baru rezim Soeharto
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto
merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan
Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan
melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi
yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto
diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di
dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk
berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan
negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan
mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah
partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah
besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada
militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara
kepada satu partai penguasa Golkar Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya
adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan
sikap yang menonjolkan “keakuatannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
1. Kecendurangan
memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi,
seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat
mereka.
2. Pengutamaan
orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3. Pengabaian
peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
I.
Keberhasilan dan Kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto
Kegagalan Dari Gaya
Kepemimpinan Soeharto
1.
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi
anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah
Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari
ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis
yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur
sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan
Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan
pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian
khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru.
KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan
ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan
Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh
pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan
antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan
yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II
yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi
dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
2.
Eksploitasi
sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan
ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
3.
Diskriminasi
terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang
diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal
ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa
yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan
rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
4.
Perpecahan
bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan
persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi
mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara
yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun
tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak
menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak
di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa
diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
5.
Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
6.
Pembangunan
tidak merata
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan
timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di
Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
7.
Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin)
8.
Penembak
Misterius
Kritik dibungkam dan
oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran
dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan,
antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
9.
Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/ presiden
selanjutnya)
Keberhasilan yang
Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
1.
Pendapatan
Per Kapita
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000
2.
Kemajuan
sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang
memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu,
Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan
ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi
sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil
Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan
partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari
pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi
terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan
Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian
Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan
politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7%
per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak
diberi tempat.
3.
Swasembada
beras
Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan
yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia
menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan
motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya
adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi
kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik
kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu
mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi
beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta
ton.
4.
Sukses
transmigrasi
5.
Sukses
Program KB
6.
Sukses
memerangi buta huruf
7.
Sukses
swasembada pangan
8.
Pengangguran
minimum
9.
Sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10.
Sukses
Gerakan Wajib Belajar
11.
Sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12.
Sukses
keamanan dalam negeri
13.
Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14.
Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
J. Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru
1.
Krisis
Ekonomi dan Moneter
Pada
waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah,
ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar,
lebih dari US$ 20 B. Banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar.
Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan
bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.
Akan
tetapi, setelah Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar, Indonesia
sangat merasakan dampak paling buruk. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya fondasi
Indonesia dan banyaknya praktik KKN serta monopoli ekonomi. Pada tanggal 1 Juli
1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dollar
Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika mencapai Rp5.000,00 per dollar, bahkan pada bulan Maret 1998 telah
mencapai Rp16.000,00 per dollar Amerika Serikat.
Faktor
lain yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar
negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang
sentralistik.
a. Utang
Luar Negeri Indonesia
Utang
luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara, tetapi sebagian
merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari
1998 yang disampaikan oleh Radius Prawira pada sidang Dewan Pemantapan
Ketahanan Ekonomi yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha mencapai
63,462 milliar dollar AS, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 milliar
dollar AS.
b. Penyimpangan
Pasal 33 UUD 1945
Dalam
pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang
per orang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Sistem
ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis
yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly,
dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
c. Pola
Pemerintahan Sentralistis
Pemerintahan
Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahan bersifat sentralistis, artinya
semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat
pemerintahan (Jakarta), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Selain
pada bidang ekonomi, politik sentralistis ini juga dapat dilihat dari pola
pemeberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris. Disebut Jakarta-sentris karena
pemberitaan yang berasal dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Jakarta
selalu dipandang sebagai pusat berita penting yang bernilai berita tinggi.
Berbagai peristiwa yang berlangsung di Jakarta atau yang melibatkan tokoh-tokoh
Jakarta dipandang sebagai berita penting dan berhak menempati halaman pertama.
2.
Krisis
Politik
Pada
dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan
oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto (dalam
kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar
anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Mengakarnya
budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintahan, menyebabkan proses pengawasan
dan pemberian mandataris kepemimpinan dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi
tidak sempura. Unsure legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR
dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan negara menjadi sepenuhnya dilakukan
oleh Presiden Soeharto. Karena keadaan tersebut, mahasiswa yang didukung oleh
dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle
cabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR serta melaksanakan pemilu
secepatnya.
Salah
satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yan
telihat dari pernyataan politik Kosgoro yang meminta Soeharto mundur.
Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan
Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua
MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.
3.
Krisis
Kepercayaan
Dalam
pemerintahan Orde Baru berkembang KKN yang dilaksanakan secara terselubung
maupun secara terang-terangan. Hal terseut mengakibatkan munculnya
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan ketidakpercayaan luar negeri
terhadap Indonesia.
Kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto berkurang setelah bangsa
Indonesia dilanda krisis multidimensi. Kemudian muncul bderbagai aksi damai
yang dilakukan oleh para masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa semakin
gencar berdemonstrasi setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan
ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di
Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi
aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulya
Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.
4.
Krisis
Sosial
Ada
dua jenis aspirasi dalam masyarakat, yaitu mendukun Soeharto atau menuntut
Seoharto turun dari kursi kepresidenan. Kelompok yang menuntut Presiden
Soeharto untuk mundur diwakili oleh mahasiswa. Kelompok mahasiswa ini memiliki
cita-cita reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang mendukung mundurnya
Presiden Soeharto diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
dan Forum Kota (Forkot).
5.
Krisis
Hukum
Banyak
ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Oede
Baru. Seperti kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa
kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif). Namun pada saat itu, kekuasaan kehakiman dibawah
kekuasaan eksekutif. Hakim juga sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas
tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rekayasa dalam proses
peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabta,
atau para pejabat negara. Reformasi menghendaki penegakan hukum secara adil
bagi semua pihak sesuai dengan prinsip
negara hukum.
Tragedi Trisakti
Aksi demonstrasi mahasiswa diawali dari
kampus Universitas Trisakti. Aksi demo yang diikutu sekitar sepuluh ribu
mahasiswa, deosen, dan segenap karyawan Universitas Trisakti ini terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998. Para mahasiswa menggelar mimbar bebas yang intinya
menuntut pemrintah untuk segera melaksanakan reformasi politik ekonomi, dan
hukum serta biang Istimewa MPR.
Aksi diawali secara damai, namun sekitar
pukul 17.15-22.00 WIB beberapa aparat keamanan melakukan penembakan ke arah
mahasiswa yang tertahan dikampus. Aksi aparat ini dibalas dengan lemparan batu
dan botol dari mahasiswa. Kerusuhan pun tidak dapat dicegah lagi. Peristiwa ini
mengakibatkan tewanya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Hendriawan Sie, Heri
Hartanto, Elang Mulya Lesmana, dan Hafidin Royan. Untuk mengenang jasa-jasa
mereka. Keempat mahasisw diberi gelar sebagai Pahlawan Reformasi.
Kerusuhan
diberbagai kota
Tragedi Trisakti memicu terjadinya aksi
demo dibeberapa daerah Republik Indonesia. Pada dasarnya tuntutan yang mereka suarakan
sama, yaitu menuntut adanya reformasi total. Aksi yang di pelopori mahasiswa
ini disusupi oleh masa dari berbagai kalangan sehingga menimnulkan kerusahan.
Aksi demo di Jakarta
Tragedi Trisakti mengakibatkan aksi
demonstrasi makin besar dan luas. Peristiwa tersebut mendapat simpati dari
masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jakarta. Namun aksi demonstrasi
tersebut berkembang menjadi kerusuhan. Kerusuhan terjadi pada hari rabu dan
kamis tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Massa membakar mobil, toko, dan kantor-kantor.
Pada tanggal 14 Mei 1998, massa juga melakukan penjarahan, seperti di Palmerah
Plaza, Bank Lippo, Bank BCA, Slipi Jaya Plaza, Pasar Tanah Abang, dan Plaza
Sentral Klender. Kerusuhan ini mengakibatkan tewasnya sekitar 500 orang dan
kerugian materi sekitar 2.5 Triliun.
Aksi demo di Semarang
Aksi demo di Semarang juga dipelopori
oleh mahasiswa dengan diikuti masyarakat umum. Massa berhasil menduduki gedung
RRI, Gedung Gubernur Jawa Tengah, dan Gedung DPRD pada tanggal 14 Mei 1998.
Selain menuntut mundurnya Presiden Soehart, massa juga menuntut turunya
Gubernur Suwardi.
Aksi demo di Medan
Aksi demo di Medan dipelopori oleh
mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU) Gedung kantor DPRD Sumut. Ketua DPRD
Sumut, H.M. Iskak menyatakan mendukung penuh refomarsi. Dalam aksi ini seorang
aparat tertembak hingga meninggal.
Aksi demo di Solo
Aksi demo di Solo berpusat dikampus
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Universitas Sebelas Maret (UNS)
tanggap 14 dan 15 Mein 1998. Aksi ini menimbulkan beberapa kerusuhan. Massa
membakar beberapa hotel dan kantor Bank, serta menghancurkan toko milik warga
keturunan Tionghoa.
Aksi demo di Surabaya
Aksi demo di Surabaya terjadi pada hari
kamis tanggal 14 Mei 1998. Aksi demo dibarengi dengan perusakan dan penjarahan.
Mahasiswa berhasil menduduki kantor RRI regional I Surabaya dan lewat radio itu
mereka menyuarakan tuntutan mengenai Sidang Istimewa MPR dan turunnya Presiden
Soeharto.
Aksi demo di Manado
Unjuk rasa terjadi pada hari kamis
tanggal 14 Mei 1998 dengan dipelopori mahasiswa Universitas Sam Ratulangi.
Dalam Aksinya, mereka mengajukan empat tuntutan pokok, yaitu reformasi di
segala bidang, penurunan harga bahan bakar minyak dan obat usut tuntas insiden
20 April di Unsrat, dan usust tuntas Tragedi 12 Mei di Universitas Trisakti.
Aksi demo di Yogyakarta
Aksi demo di Yogyakarta dilakukan oleh
mahasiswa dari berbagai universitas. Pada tanggal 19 Mei 1998 terjadi peristiwa
bersejarah kurang lebih sejuta manusia berkumpul di alun-alun utara Keraton
Yogyakarta untuk menghadiri Pisowanan Ageng yang dipimpin oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VIII.
Pada perkembagannya, mahasiswa berusaha
menduduki Gedung DPR/MPR Jakarta. Para Mahasiswa menuntut kepada wakil-wakil
rakyat agar segera menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR untuk mencabut mandat
Presiden Soeharto. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari barbagai
Universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya berhasil menduduki
Gedung DPR/MPR. Kuatnya desakan yang datang dari mahasiswa dan rakyat di
berbagai daerah, berakibat diadakannya Sidang Istimewa MPR tanggal 20 Mei 1998.
Keesokan harinya pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya di Istana Negara Jakarta.
BAB
III PENUTUP
A.
SIMPULAN
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki
tatanan atau aturan pemerintahan. waktu ke waktu dari masa ke masa, dalam
pemerintahan orde baru yakni tahun 1966 sampai 1998 mempunyai latar belakang
yang meliputi Sejarah, ideology, politik dan hukum. Orde Baru adalah sebutan
bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia yang
memiliki perbedaan jauh dengan orde lama baik dari sisi ekonomi, politik,
stabilitas politik ekonomi, sumber daya manusia, sosial dan budaya, serta dalam
penerapan pancasila. Kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara yang
sangat dipenuhi dengan politik Soeharto. Fusi partai merupakan cara untuk
menjaga stabilitas politik bangsa yang dilakukan pada masa orde baru. Gaya
kepemimpinan Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan
Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif yaitu seorang pemimpin yang
Otoriter. Banyak kegagalan dan keberhasilan yang dicapai pada masa orde baru.
B.
SARAN
Menurut
kelompok kami, pada masa orde baru banyak kekurangan dan kelebihannya, gaya
kepemimpinan Presiden Soeharto yang dapat dikatakan otoriter memang sangat
cocok pada waktu itu yaitu pada awal pemerintahan beliau. Yang mana dengan gaya
kepemimpinan beliau pembangunan di Indonesia dapat lebih maju dari pemerintahan
sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa gaya kepemimpinan Presiden Soeharto ini
sangatlah bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
Dari uraian di atas, saran yang dapat
kelompok kami berikan untuk gaya kepemimpinan Soeharto adalah :
1. Kembali
kepada sistem demokrasi yang ada di Indonesia yang mana setiap warga negara
berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2. Tidak
berfokus hanya kepada bidang ekonomi tetapi juga di semua sektor.
3. Pembatasan
kekuasaan sangat penting karena ketika kekuasan tidak dibatasi maka akan muncul
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
DAFTAR
PUSTAKA
Kansil,
C.S.T. 1984. Menjadi Warga Negara Pancasila. Jakarta : PN BALAI PUSTAKA
Dipoyudo,
Kirdi. 1984. Pancasila Arti dan Pelaksanaannya. Jakarta : Centre For Strategic
and International Studies
Soegito,
A.T., dkk. 2012. Pendidikan Pancasila. Semarang :Pusat Pengembangan MKU-MKDK
Unnes
Roosa,
John, dkk. 2004. Tahun Yang Tak Pernah Berakhir. Jakarta : Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat
Syam,
Firdaus. 2008. Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko. Jakarta : PT
Gria Media Prima
Warman,
Adam, Asvi, dkk. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta : Galang Press
Makalah
1. SISTEM
PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA MASA ORDE BARU 11 MARET 1966 SAMPAI 21 MEI
1998, Oleh: SUHARSIH
2. GAYA
KEPEMIMPINAN SOEHARTO
Internet
sumber gambar: https://image.slidesharecdn.com/perbedaanpelaksanaandemokrasidiordelmadanorde-141027032315-conversion-gate01/95/perbedaan-pelaksanaan-demokrasi-di-orde-lama-dan-orde-baru-10-638.jpg?cb=1414381038