GAYA KEPEMIMPINAN PRESIDEN SOEHARTO

BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 keadaan politik dan keamanan Negara menjadi kacau ditambah dengan adanya konflik di Angkatan Darat yang sudah berlangsung lama. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI beserta organisasi masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili. Kesatuan aksi (KAMI, KAPI, KAPPI ,KASI, dsb.) yang ada di masyarakat bergabung membentuk kesatuan aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghancurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tidak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Soeharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan Negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan. Atas dasar Surat Perintah Sebelas Maret 1966 ini, maka lahirlah Orde Baru
Pembahasan mengenai Orde Baru yang simpang siur memperlihat ketidakpastian masa Orde Baru. Orde Baru yang dikatakan lebih baik daripada sekarang sehingga muncul kata-kata “Piye kabare, Penak zamanku to?” ataupun pemberitaan bahwa masa Orde Baru merupakan masa Penindasan yang terdapat banyak pembunuhan. Kemudian seperti apakah kepemimpinan pada masa orde baru sehingga bisa dikatakan sepeti itu
Saat ini kebeneran yang terjadi pada masa orde baru masih belum jelas. Banyak kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok yang mencoba memanfaatkan peristiwa Orde Baru. atas hal tersebut makalah saya akan membahas mengenai “Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto”.



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto?
2.      Bagaimana Keberhasilan Kepemimpinan Presiden Soeharto?
3.      Bagaimana Kegagalan Kepemimpianan Presiden Soeharto?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui gaya kepemimpinan Presiden Soeharto
2.      Untuk mengetahui keberhasilan kepemimpinan Presiden Soeharto
3.      Untuk mengetahui kegagalan kepemimpinan Presiden Soeharto
D.    MANFAAT
1.      Menjadi bahan bacaan oleh para mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dan Orde Baru
2.      Pembaca dapat mengetahui gaya kepemimpinan Presiden Soeharto
3.      Mendorong Pembaca khususnya Mahasiswa menjadi lebih paham tentang kepemimpinan Presiden Soeharto



BAB II PEMBAHASAN
A.    Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuatannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
1.      Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
2.      Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3.      Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.



B.     Keberhasilan Kepemimpinan Presiden Soeharto      
1.    Pendapatan Per Kapita
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2.    Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
3.    Swasembada beras
Seperti pepatah From Zero to Hero itulah kebijakan yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
4.        Sukses transmigrasi
5.        Sukses Program  KB
6.        Sukses memerangi buta huruf
7.        Sukses swasembada pangan
8.        Pengangguran minimum
9.        Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
10.    Sukses Gerakan Wajib Belajar
11.    Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
12.    Sukses keamanan dalam negeri
13.    Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
14.    Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

C.    Kegagalan Kepemimpinan Persiden Soeharto           
1.   Politik
                   Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
2.   Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
3.      Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
4.      Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
5.      Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
6.      Pembangunan tidak merata
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
7.      Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
8.      Penembak Misterius
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
9.      Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/ presiden selanjutnya)

D.    Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru
1.      Krisis Ekonomi dan Moneter
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah.
Akan tetapi, setelah Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar, Indonesia sangat merasakan dampak paling buruk. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya fondasi Indonesia dan banyaknya praktik KKN serta monopoli ekonomi. Pada tanggal 1 Juli 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mencapai Rp5.000,00 per dollar, bahkan pada bulan Maret 1998 telah mencapai Rp16.000,00 per dollar Amerika Serikat.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
a.  Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara, tetapi sebagian merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6 Februari 1998 yang disampaikan oleh Radius Prawira pada sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha mencapai 63,462 milliar dollar AS, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 milliar dollar AS.
b.  Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Sistem ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
c.  Pola Pemerintahan Sentralistis
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahan bersifat sentralistis, artinya semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan (Jakarta), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Selain pada bidang ekonomi, politik sentralistis ini juga dapat dilihat dari pola pemeberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris. Disebut Jakarta-sentris karena pemberitaan yang berasal dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Jakarta selalu dipandang sebagai pusat berita penting yang bernilai berita tinggi. Berbagai peristiwa yang berlangsung di Jakarta atau yang melibatkan tokoh-tokoh Jakarta dipandang sebagai berita penting dan berhak menempati halaman pertama.
2.      Krisis Politik
Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintahan, menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempura. Unsure legislative yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Karena keadaan tersebut, mahasiswa yang didukung oleh dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle cabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR serta melaksanakan pemilu secepatnya.
Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yan telihat dari pernyataan politik Kosgoro yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.
3.      Krisis Kepercayaan
Dalam pemerintahan Orde Baru berkembang KKN yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan. Hal terseut mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan ketidakpercayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi. Kemudian muncul bderbagai aksi damai yang dilakukan oleh para masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa semakin gencar berdemonstrasi setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.
4.      Krisis Sosial
Ada dua jenis aspirasi dalam masyarakat, yaitu mendukun Soeharto atau menuntut Seoharto turun dari kursi kepresidenan. Kelompok yang menuntut Presiden Soeharto untuk mundur diwakili oleh mahasiswa. Kelompok mahasiswa ini memiliki cita-cita reformasi terhadap Indonesia. Organisasi yang mendukung mundurnya Presiden Soeharto diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Forkot).
5.      Krisis Hukum
Banyak ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Oede Baru. Seperti kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun pada saat itu, kekuasaan kehakiman dibawah kekuasaan eksekutif. Hakim juga sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabta, atau para pejabat negara. Reformasi menghendaki penegakan hukum secara adil bagi semua pihak sesuai dengan  prinsip negara hukum.
Tragedi Trisakti
Aksi demonstrasi mahasiswa diawali dari kampus Universitas Trisakti. Aksi demo yang diikutu sekitar sepuluh ribu mahasiswa, deosen, dan segenap karyawan Universitas Trisakti ini terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Para mahasiswa menggelar mimbar bebas yang intinya menuntut pemrintah untuk segera melaksanakan reformasi politik ekonomi, dan hukum serta biang Istimewa MPR.
Aksi diawali secara damai, namun sekitar pukul 17.15-22.00 WIB beberapa aparat keamanan melakukan penembakan ke arah mahasiswa yang tertahan dikampus. Aksi aparat ini dibalas dengan lemparan batu dan botol dari mahasiswa. Kerusuhan pun tidak dapat dicegah lagi. Peristiwa ini mengakibatkan tewanya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Hendriawan Sie, Heri Hartanto, Elang Mulya Lesmana, dan Hafidin Royan. Untuk mengenang jasa-jasa mereka. Keempat mahasisw diberi gelar sebagai Pahlawan Reformasi.
Kerusuhan diberbagai kota
Tragedi Trisakti memicu terjadinya aksi demo dibeberapa daerah Republik Indonesia. Pada dasarnya tuntutan yang mereka suarakan sama, yaitu menuntut adanya reformasi total. Aksi yang di pelopori mahasiswa ini disusupi oleh masa dari berbagai kalangan sehingga menimnulkan kerusahan.
Aksi demo di Jakarta
Tragedi Trisakti mengakibatkan aksi demonstrasi makin besar dan luas. Peristiwa tersebut mendapat simpati dari masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jakarta. Namun aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi kerusuhan. Kerusuhan terjadi pada hari rabu dan kamis tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Massa membakar mobil, toko, dan kantor-kantor. Pada tanggal 14 Mei 1998, massa juga melakukan penjarahan, seperti di Palmerah Plaza, Bank Lippo, Bank BCA, Slipi Jaya Plaza, Pasar Tanah Abang, dan Plaza Sentral Klender. Kerusuhan ini mengakibatkan tewasnya sekitar 500 orang dan kerugian materi sekitar 2.5  Triliun.
Aksi demo di Semarang
Aksi demo di Semarang juga dipelopori oleh mahasiswa dengan diikuti masyarakat umum. Massa berhasil menduduki gedung RRI, Gedung Gubernur Jawa Tengah, dan Gedung DPRD pada tanggal 14 Mei 1998. Selain menuntut mundurnya Presiden Soehart, massa juga menuntut turunya Gubernur Suwardi.
Aksi demo di Medan
Aksi demo di Medan dipelopori oleh mahasiswa Universitas Sumatra Utara (USU) Gedung kantor DPRD Sumut. Ketua DPRD Sumut, H.M. Iskak menyatakan mendukung penuh refomarsi. Dalam aksi ini seorang aparat tertembak hingga meninggal.
Aksi demo di Solo
Aksi demo di Solo berpusat dikampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Universitas Sebelas Maret (UNS) tanggap 14 dan 15 Mein 1998. Aksi ini menimbulkan beberapa kerusuhan. Massa membakar beberapa hotel dan kantor Bank, serta menghancurkan toko milik warga keturunan Tionghoa.
Aksi demo di Surabaya
Aksi demo di Surabaya terjadi pada hari kamis tanggal 14 Mei 1998. Aksi demo dibarengi dengan perusakan dan penjarahan. Mahasiswa berhasil menduduki kantor RRI regional I Surabaya dan lewat radio itu mereka menyuarakan tuntutan mengenai Sidang Istimewa MPR dan turunnya Presiden Soeharto.
Aksi demo di Manado
Unjuk rasa terjadi pada hari kamis tanggal 14 Mei 1998 dengan dipelopori mahasiswa Universitas Sam Ratulangi. Dalam Aksinya, mereka mengajukan empat tuntutan pokok, yaitu reformasi di segala bidang, penurunan harga bahan bakar minyak dan obat usut tuntas insiden 20 April di Unsrat, dan usust tuntas Tragedi 12 Mei di Universitas Trisakti.
Aksi demo di Yogyakarta
Aksi demo di Yogyakarta dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai universitas. Pada tanggal 19 Mei 1998 terjadi peristiwa bersejarah kurang lebih sejuta manusia berkumpul di alun-alun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri Pisowanan Ageng yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VIII.
Pada perkembagannya, mahasiswa berusaha menduduki Gedung DPR/MPR Jakarta. Para Mahasiswa menuntut kepada wakil-wakil rakyat agar segera menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR untuk mencabut mandat Presiden Soeharto. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari barbagai Universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Kuatnya desakan yang datang dari mahasiswa dan rakyat di berbagai daerah, berakibat diadakannya Sidang Istimewa MPR tanggal 20 Mei 1998. Keesokan harinya pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Negara Jakarta.




BAB III PENUTUP
A.    SIMPULAN
Bangsa Indonesia  merupakan bangsa yang memiliki tatanan atau aturan pemerintahan. waktu ke waktu dari masa ke masa, dalam pemerintahan orde baru yakni tahun 1966 sampai 1998 mempunyai latar belakang yang meliputi Sejarah, ideology, politik dan hukum. Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Gaya kepemimpinan Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif yaitu seorang pemimpin yang Otoriter. Banyak kegagalan dan keberhasilan yang dicapai pada masa orde baru.

B.     SARAN
Menurut saya, pada masa orde baru banyak kekurangan dan kelebihannya, gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang dapat dikatakan otoriter memang sangat cocok pada waktu itu yaitu pada awal pemerintahan beliau. Yang mana dengan gaya kepemimpinan beliau pembangunan di Indonesia dapat lebih maju dari pemerintahan sebelumnya. Sangat disayangkan bahwa gaya kepemimpinan Presiden Soeharto ini sangatlah bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
Dari uraian di atas, saran yang dapat kelompok kami berikan untuk gaya kepemimpinan Soeharto adalah :
1.      Kembali kepada sistem demokrasi yang ada di Indonesia yang mana setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2.      Tidak berfokus hanya kepada bidang ekonomi tetapi juga di semua sektor.
3.      Pembatasan kekuasaan sangat penting karena ketika kekuasan tidak dibatasi maka akan muncul Korupsi, Kolusi dan Nepotisme




DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T. 1984. Menjadi Warga Negara Pancasila. Jakarta : PN BALAI PUSTAKA
Dipoyudo, Kirdi. 1984. Pancasila Arti dan Pelaksanaannya. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies
Soegito, A.T., dkk. 2012. Pendidikan Pancasila. Semarang :Pusat Pengembangan MKU-MKDK Unnes
Roosa, John, dkk. 2004. Tahun Yang Tak Pernah Berakhir. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Syam, Firdaus. 2008. Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko. Jakarta : PT Gria Media Prima
Warman, Adam, Asvi, dkk. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta : Galang Press

Makalah
1.      SISTEM PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA MASA ORDE BARU 11 MARET 1966 SAMPAI 21 MEI 1998, Oleh: SUHARSIH
2.      GAYA KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Internet




sumber gambar: https://josephrdaniel.files.wordpress.com/2013/08/farewell_suharto.jpg

Share this

Previous
Next Post »