PILKADA SERENTAK
2015 : Bukan Sebuah Keharusan Negara Demokrasi
Bambang
Hermanto
NIM
3301413019
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas
Negeri Semarang
Abstrak
Pilkada serentak
2015 sudah terlaksana pada 9 desember 2015 di 269 daerah sesuai dengan UU Nomor
8 tahun 2015 atas revisi UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pilkada serentak bertujuan
sebagai perwujudan demokrasi lokal sekaligus efisiensi anggaran negara. Pada
kenyataannya perwujudan demokrasi tidak dapat diselaraskan dengan biaya, sebab
untuk melaksanakan demokratisasi yang berkualitas tentu memerlukan biaya besar.
Negara demokrasi memegang kedaulatan dengan arti pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat, tanpa mengatur waktu pelaksanaan harus serentak atau tidak.
Pilkada serentak 2015 menimbulkan banyak permasalahan, seperti calon tunggal,
keputusan kontroversi mahkamah Konstitusi, sengketa penetapan pasangan calon
yang sangat terbatas waktu dan yang terakhir sengketa penetapan hasil pemilihan
yang sangat banyak dan harus selesai dalam waktu kurang-lebih 45 hari. Jika
dilihat betapa rumit dan kompleksnya masalah yang ada, dalam suatu negara
demokrasi tidak harus melaksanakan pilkada secara serentak. Sebab demokrasi
tidak mengatur perwujudannya dalam waktus yang sama atau serentak.
Kata Kunci :
Pilkada Serentak 2015, Bukan Keharusan, Negara Demokrasi
Abstract
Election
simultaneously 2015 been done on 9 december 2015 in 269 region in line with the
act no.8 2015 over the revision number 1 2015 on the provision of perppu 1 2014
about the election of the governor, regent, and mayor .Election simultaneously
aimed to be a embodiment democracy local and efficiency the state budget. In
fact a democracy cannot aligned with the cost, for to implement democratization
quality of cost money. Democracy holding sovereignty to the meaning of
government from, by, and for people, without set a time enforcement shall
simultaneously or not. Election simultaneously 2015 got a lot of problems, as
candidates single, decision a controversy the constitutional court, dispute the
determination of candidate couple who very limited time and the last dispute
the determination of the outcome of an election who are numerous and must be
completed in time the 45 days. If seen how complicated and complex problem , in
a state democracy not have to implement election simultaneously. Because
democracy are not specific perwujudannya in waktus the same or simultaneously.
Key word: Election
simultaneously 2015, not have to, state democracy
Terlaksana
sudah pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota yang selanjutnya disebut pemilihan yang
dilaksanakan secara langsung dan serentak sesuai Undang-Undang Perubahan atas
UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang disahkan melalui
Sidang Paripurna DPR. Tidak dilakukannya uji publik calon dan pemenang pemilu
yang cukup satu putaran dengan perolehan suara apa adanya asalkan lebih unggul
dari pasangan calon lainnya.
Pada
9 Desember 2015 sudah dilaksanakan Pilkada Serentak di berbagai daerah di Indonesia
meskipun ada beberapa daerah yang mengundur pelaksanaan beberapa hari kebelakang.
Jika diamati secara seksama Pilkada Serentak 2015 menimbulkan banyak
kontroversi dan permasalahan, sejak awal pembuatan Undang-Undang, Pra Pilkada,
pelaksanaan Pilkada, dan pasca Pilkada. Jika ditinjau lebih jauh lagi pilkada
serentak tidak harus dilaksanakan, sebab perwujudan demokrasi tidak harus
dilaksanakan secara serentak.
Pemilihan
kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana untuk rakyat menyalurkan hak daulatnya
dalam dipilih dan memilih. pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu pasca
Putusan MK No.97/PUU-XI/2013, disisi lain KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota
termasuk organ pemilu yang dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) dan (5) UUD 1945. [1]
Sejak
DPR menyetujui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara
serentak dilakukan pada Desember 2015. Pada akhirnya bangsa ini berhasil keluar
dari kemelut politik; debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan
Pilkada. Keputusan DPR menyudahi itu dengan menegaskan bahwa Pilkada tetap
dilaksanakan secara langsung dan serentak. Pada 17 Februari 2015, DPR
mengesahkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota.
Undang-undang
no 1 tahun 2015 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang no 8 tahun 2015
menyatakan daerah yang berakhir masa jabatannya pada semester pertama 2016 ikut
pilkada Desembaer 2015, membuat mereka gelagapan. Meskipun Kementrian Dalam
Negeri telah bersurat ke daerah untuk menempatkan pillkada 2015 sebagai
prioritas anggaran. Jadi mereka diberi kewenangan untuk mengalihkan anggaran
yang semestinya untuk kegiatan lain dialihkan untuk Pilkada.[2]
Joko
J. Prihantoro menyatakan bahwa : “Pemilihan Kepala Daerah mrupakan rekrutmen
politik yaitu penyeleksian rakyat
terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur/wakil
gubernur maupun bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota”.[3]
Istilah
demokrasi berasal dari bahasa Yunani demosartinya rakyat dan Kratein artinya
pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dalam
hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Diantara beberapa
pengertian tentang demokrasi, barangkali pengertian yang dikemukakan oleh
Abraham Lincoln dapat merangkum makna demokrasi dalam sebuah kalimat sederhana.
Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.[4]
Demokrasi
juga tidak hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan luhur tentang penghidupan bernegara yang ideal,
tetapi juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup
yang berkeragaman dan menghargai perbedaan. Untuk tingkatan daerah, pelaksanaan
pelilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu upaya menciptakan
pemerintahan yang demokratis.[5]
Dari
teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa suatu negara demokrasi, dalam
melaksanakan demokratisasi tidak mengatur pelaksanaan pemilu secara serentak
atau tidak. Jadi pilkada serentak dapat dikatakan bukan sebuah keharusan bagi
negara demokrasi, apalagi ketika pilkada yang dilaksanakan secara serentak akan
memunculkan berbagai permasalahan.
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat
memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya
rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan
publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan
pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien. [6]
”Biaya
pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100
miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun.
Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan
hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh
APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9)
di Jakarta.
Pelaksanaan
sistem pemerintahan yang demokratis menjadi dambaan setiap warga negara.
Beberapa ahli membuat indikator terhadap pemerintahan yang demokratis. Suatu
pemerintahan dapat dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan
mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999)
prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip Dahl terdapat tujuh prinsip yang
harus ada dalam sistem demokrasi, yaitu :
a.
Adanya kontrol atas keputusan pemerintah;
b.
Adanya pemilihan yang teliti dan jujur;
c.
Adanya hak memilih dan dipilih;
d.
Adanya kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman;
e.
Adanya kebebasan mengakses informasi;
f.
Adanya kebebasan berserikat (Abdillah, 1999).[7]
Jika
dilihat dari tujuannya pilkada serentak yaitu untuk efisiensi anggaran negara.
Tetapi kita juga harus melihat berbagai permasalahan yang muncul dalam pilkada
serentak, seperti calon tunggal, putusan kontroversi MK, sengketa penetapan
pasangan calon, bahkan sengketa hasil pilkada tersebut.
Calon Tunggal dan Nasib Pilkada
Serentak
Polemik
calon tunggal menjadi momok yang menghantui pelaksanaan Pilkada Serentak 2015.
Meski tahapan di 9 provinsi, 35 kota, dan 221 kabupaten tetap dilanjutkan
karena memiliki cukup pasangan calon, namun peluang beberapa daerah untuk
mengalami penundaan usai pelaksanaan verifikasi berkas pencalonan, tetap
terbuka lebar.
Ada
sekitar 80 daerah yang berpotensi ditunda pelaksanaan pilkadanya, lantaran
hanya memiliki dua pasangan calon. Jika salah satu dari calon di daerah
tersebut dinilai tidak memenuhi syarat pencalonan dari hasil verifikasi, maka
polemik calon tunggal akan muncul kembali.
Tentu
saja daerah itu akan bernasib sama dengan empat daerah yang sudah diputuskan
untuk melanjutkan pilkada duatahun lagi, yaitu pada 2017 mendatang. Keempat
daerah itu adalah Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa
Barat), Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), dan Kota Mataram
(Nusa Tenggara Barat).
Dalam
Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, disebutkan bahwa jika hanya ada satu
pasangan calon, maka waktu pendaftaran calon akan diperpanjang selama tiga
hari. Jika setelah waktu tambahan tidak juga ada pasangan calon lain, maka
pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada periode berikutnya.
Aturan
tersebut memang tidak sunyi dari kritik sejumlah pihak yang menginginkan pilkada
tetap berlanjut meski calon hanya satu pasang. Tetapi wacana tersebut segera
ditampik Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, jika pilkada dilaksanakan dengan
hanya mengusung calon tunggal, maka demokrasi tidak akan bisa berjalan.
"Demokrasi
langsung tidak jalan. Uang yang jalan atau apapun yang jalan, faktor x yang
jalan. Penguasaan yang jalan. Terjadilah pola kekuasaan. Ini bahaya. Kalau
begitu diizinkan lama-lama presiden (pilpres) bisa juga aklamasi. Akhirnya
demokrasi tidak jalan," kata Kalla, Senin (27/7).[8]
Putusan Kontroversi Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali
Kota. MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan
pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember 2015.
"Mahkamah
menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua
Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta,
Selasa (29/9/2015).
Dalam
pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan
pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah
secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus
menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain
itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan
adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan
kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya
pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam
kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.[9]
Mahfud
menyatakan bahwa MK harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya
itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi
UUD yang dijadikan dasar pengujian, agar MK tidak membuat putusan yang
melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan
yidkatif. Dengan demikian dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak
dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang
sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud
tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya.
Dalam
kaitan inilah, maka dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam melakukan
pengujian atau judicial review undang-undang terhadap UUD, MK hanya boleh
menafsirkan isi UUD sesuai dengan original intent yang dibuat melalui
perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya. MK seharusnya hanya boleh
menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD dan tidak
boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada
umumnya pembatasan tugas yang demikian dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR
dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah
negative legislator (penghapus atau pembatal norma).
Karena
kewenangan MK sebatas menguji, maka MK hanya bisa membatalkan atau menyatakan
suatu UU (sebagian pasal atau keseluruhan) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Kewenangan ini dalam bahasa hukum dikenal dengan negative legislator,
sebuah kewenangan legislasi tetapi bersifat negatif/pasif karena hanya sebatas
membatalkan dan/atau menyatakan suatu peraturan tidak mengikat. Berbeda dengan
positive legislator yang kewenangannya sampai pada tingkat membuat, membentuk,
menetapkan dan mensahkan suatu undang-undang.[10]
Pemilihan Diundur Beberapa Hari
Dikarenakan Sengketa Penetapan Pasangan Calon
Penetapan
paslon di daerah-daerah ini belum final karena adanya sengketa penetapan calon
yang prosesnya hingga ke Mahkamah Agung.
“Beberapa
putusan lain sudah kami laksanakan. Seperti sebelumnya untuk Fakfak dan Kaimana
(Papua Barat),” ujar Hadar, Selasa (10/11).
Selain
di ke enam daerah tersebut, terdapat tiga daerah lain yang juga penetapan calon
kepala daerahnya belum final. Hanya bedanya, di ke tiga daerah ini bukan
menunggu putusan dari MA. Karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebelumnya tidak mengeluarkan putusan. Hanya berupa
kajian, terkait status salah satu pasangan calon yang disebut-sebut masih bebas
bersyarat. Sehingga KPU di daerah tak bisa mengambil keputusan.
Ke
tiga daerah tersebut masing-masing Boven Digoel (Papua), Bone Bolango
(Gorontalo) dan Kota Manado (Sulawesi Utara).
“Kemudian
ada juga terkait status bebas bersyarat. Kami akan putuskan dalam rapat
pimimpinan tripartit (tiga lembaga pemilu yakni KPU, Bawaslu dan
DKPP,red)," ujar Hadar.(gir/jpnn)[11]
Berdasarkan
Pasal 143 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, Bawaslu Provinsi
dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa pemilihan paling
lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan.
Pasangan
calon yang ditetapkan tidak memenuhi syarat dapat mengajukan gugatan ke
Panwaslu dengan membawa surat keterangan tidak lolos dari KPU daerah setempat.
Keputusan
Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten-Kota mengenai penyelesaian
sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat.
Seandainya
pasangan bakal calon kalah dalam proses sengketa panwas, pasangan bakal calon
masih bisa megajukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
sesuai Pasal 154 UU Nomor 1 Tahun 2015.
“Hampir
di seluruh provinsi, khususnya kabupaten-kota. Lebih dari 10 [gugatan pasangan
bakal calon], saya yakin akan terus bertambah,” ucap Muhammad.[12]
Sengketa Perselisihan Hasil
Pemilihan
Jumlah
pasangan calon kepala daerah yang mengajukan permohonan sengketa perselisihan
hasil pemilihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi terus bertambah. Hingga Selasa
(22/12) pukul 11.00, Mahkamah Konstitusi telah menerima 131 pendaftaran
permohonan sengketa PHP.
Meskipun
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap pertama 9
Desember 2015 di 264 daerah berjalan dengan lancar dan aman tanpa adanya
gejolak di masyarakat, namun Mahkamah Konstitusi (MK) bakal tetap `kebanjiran`
gugatan sengketa hasil pesta demokrasi tingkat lokal secara serentak yang
digelar pertama kali di Indonesia itu.
Hal
itu menyusul Pilkada serentak dimana mayoritas dimenangkan oleh Pasangan Calon
Kepala Daerah (Paslonkada) petahana dengan cara-cara yang merugikan Paslonkada
yang bukan petahana, sehingga mereka mengajukan gugatan ke MK.
"Saya
melihat akan tingginya angka gugatan Pilkada yang disebabkan oleh ketidakpuasan
pasangan yang kalah karena merasa diperlakukan tidak adil, setelah mencermati
maraknya kemenangan petahana di Pilkada serentak ini. Selain memang UU Pilkada
sangat pro kepada petahana," kata Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Wahyu
Agung Permana saat dihubungi, Kamis (10/12/2015). [13]
Untuk
diketahui, aturan terkait jangka waktu penyelesaian perkara PHP dijelaskan
dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
MK
memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan paling lama 45 hari
sejak diterimanya permohonan. Dimana 45 hari tersebut dimaknai sebagai 45 hari
kerja.[14]
Dilihat
dari pemaparan diatas, Pilkada serentak 2015 memunculkan banyak permasalahan
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Demokrasi menerangkan kedaulatan dari, oleh
dan untuk rakyat. Tidak mengatur waktu pelaksanaan secara serentak, sehingga
ketika pelaksanaan Pilkada serentak 2015 banyak memunculkan permasalahan, lebih
baik tidak dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sinamora,
Janpatar. Eksistensi Pilkada dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis
Majalah
Suara KPU Edisi II, Maret April 2015
Majalah
Suara KPU Edisi IV, Juli – Agustus 2015
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-5336-abstrak.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/119308-T%2025202-Proses%20penyelesaian-Literatur.pdfhttps://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4322
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36619/bab-06-demokrasi-dan-sistem-pemerintahan-negara.pdf+&cd=2&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/13474751/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak
http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/mahkamah-konstitusi-antara-positive-dan.html
http://www.jpnn.com/read/2015/11/11/337913/GAWAT:-Beberapa-Daerah-Belum-Tetapkan-Pasangan-Calon-
http://www.solopos.com/2015/08/25/pilkada-serentak-2015-bawaslu-terima-lebih-dari-10-aduan-sengketa-penetapan-paslon-636197
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/12/10/50088/0/25/MK-Bakal-Kebanjiran-Gugatan-Sengketa-Hasil-Pilkada-Serentak-2015
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/06/10273771/Kamis.MK.Mulai.Sidangkan.Sengketa.Hasil.Pilkada.Serentak
[2] Majalah
Suara KPU Edisi II, Maret April 2015
[3] http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/119308-T%2025202-Proses%20penyelesaian-Literatur.pdfhttps://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
[4] https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
[5]
Eksistensi Pilkada dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis
[6] http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4322
[7] rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36619/bab-06-demokrasi-dan-sistem-pemerintahan-negara.pdf+&cd=2&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a
[8] Majalah Suara KPU Edisi IV, Juli – Agustus
2015
[9]http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/13474751/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak
[10] http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/mahkamah-konstitusi-antara-positive-dan.html
[11] http://www.jpnn.com/read/2015/11/11/337913/GAWAT:-Beberapa-Daerah-Belum-Tetapkan-Pasangan-Calon-
[12] http://www.solopos.com/2015/08/25/pilkada-serentak-2015-bawaslu-terima-lebih-dari-10-aduan-sengketa-penetapan-paslon-636197
[13] http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/12/10/50088/0/25/MK-Bakal-Kebanjiran-Gugatan-Sengketa-Hasil-Pilkada-Serentak-2015
[14]http://nasional.kompas.com/read/2016/01/06/10273771/Kamis.MK.Mulai.Sidangkan.Sengketa.Hasil.Pilkada.Serentak