PILKADA SERENTAK 2015 : Bukan Sebuah Keharusan Negara Demokrasi

sumber gambar: https://hasrulharahap.files.wordpress.com/2016/03/pilkada-serentak.jpg?w=460
PILKADA SERENTAK 2015 : Bukan Sebuah Keharusan Negara Demokrasi
Bambang Hermanto
NIM 3301413019
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Semarang
Abstrak
Pilkada serentak 2015 sudah terlaksana pada 9 desember 2015 di 269 daerah sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2015 atas revisi UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pilkada serentak bertujuan sebagai perwujudan demokrasi lokal sekaligus efisiensi anggaran negara. Pada kenyataannya perwujudan demokrasi tidak dapat diselaraskan dengan biaya, sebab untuk melaksanakan demokratisasi yang berkualitas tentu memerlukan biaya besar. Negara demokrasi memegang kedaulatan dengan arti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, tanpa mengatur waktu pelaksanaan harus serentak atau tidak. Pilkada serentak 2015 menimbulkan banyak permasalahan, seperti calon tunggal, keputusan kontroversi mahkamah Konstitusi, sengketa penetapan pasangan calon yang sangat terbatas waktu dan yang terakhir sengketa penetapan hasil pemilihan yang sangat banyak dan harus selesai dalam waktu kurang-lebih 45 hari. Jika dilihat betapa rumit dan kompleksnya masalah yang ada, dalam suatu negara demokrasi tidak harus melaksanakan pilkada secara serentak. Sebab demokrasi tidak mengatur perwujudannya dalam waktus yang sama atau serentak.
Kata Kunci : Pilkada Serentak 2015, Bukan Keharusan, Negara Demokrasi
Abstract
Election simultaneously 2015 been done on 9 december 2015 in 269 region in line with the act no.8 2015 over the revision number 1 2015 on the provision of perppu 1 2014 about the election of the governor, regent, and mayor .Election simultaneously aimed to be a embodiment democracy local and efficiency the state budget. In fact a democracy cannot aligned with the cost, for to implement democratization quality of cost money. Democracy holding sovereignty to the meaning of government from, by, and for people, without set a time enforcement shall simultaneously or not. Election simultaneously 2015 got a lot of problems, as candidates single, decision a controversy the constitutional court, dispute the determination of candidate couple who very limited time and the last dispute the determination of the outcome of an election who are numerous and must be completed in time the 45 days. If seen how complicated and complex problem , in a state democracy not have to implement election simultaneously. Because democracy are not specific perwujudannya in waktus the same or simultaneously.
Key word: Election simultaneously 2015, not have to, state democracy

Terlaksana sudah pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang selanjutnya disebut pemilihan yang dilaksanakan secara langsung dan serentak sesuai Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang disahkan melalui Sidang Paripurna DPR. Tidak dilakukannya uji publik calon dan pemenang pemilu yang cukup satu putaran dengan perolehan suara apa adanya asalkan lebih unggul dari pasangan calon lainnya.
Pada 9 Desember 2015 sudah dilaksanakan Pilkada Serentak di berbagai daerah di Indonesia meskipun ada beberapa daerah yang mengundur pelaksanaan beberapa hari kebelakang. Jika diamati secara seksama Pilkada Serentak 2015 menimbulkan banyak kontroversi dan permasalahan, sejak awal pembuatan Undang-Undang, Pra Pilkada, pelaksanaan Pilkada, dan pasca Pilkada. Jika ditinjau lebih jauh lagi pilkada serentak tidak harus dilaksanakan, sebab perwujudan demokrasi tidak harus dilaksanakan secara serentak.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana untuk rakyat menyalurkan hak daulatnya dalam dipilih dan memilih. pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu pasca Putusan MK No.97/PUU-XI/2013, disisi lain KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota termasuk organ pemilu yang dimaksud pada Pasal 22E ayat (2) dan (5) UUD 1945. [1]
Sejak DPR menyetujui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan pada Desember 2015. Pada akhirnya bangsa ini berhasil keluar dari kemelut politik; debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada. Keputusan DPR menyudahi itu dengan menegaskan bahwa Pilkada tetap dilaksanakan secara langsung dan serentak. Pada 17 Februari 2015, DPR mengesahkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota.
Undang-undang no 1 tahun 2015 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang no 8 tahun 2015 menyatakan daerah yang berakhir masa jabatannya pada semester pertama 2016 ikut pilkada Desembaer 2015, membuat mereka gelagapan. Meskipun Kementrian Dalam Negeri telah bersurat ke daerah untuk menempatkan pillkada 2015 sebagai prioritas anggaran. Jadi mereka diberi kewenangan untuk mengalihkan anggaran yang semestinya untuk kegiatan lain dialihkan untuk Pilkada.[2]
Joko J. Prihantoro menyatakan bahwa : “Pemilihan Kepala Daerah mrupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat  terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri  sebagai kepala daerah, baik gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota”.[3]
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demosartinya rakyat dan Kratein artinya pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Diantara beberapa pengertian tentang demokrasi, barangkali pengertian yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln dapat merangkum makna demokrasi dalam sebuah kalimat sederhana. Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[4]
Demokrasi juga tidak hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan luhur  tentang penghidupan bernegara yang ideal, tetapi juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik  yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman dan menghargai perbedaan. Untuk tingkatan daerah, pelaksanaan pelilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis.[5]
Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa suatu negara demokrasi, dalam melaksanakan demokratisasi tidak mengatur pelaksanaan pemilu secara serentak atau tidak. Jadi pilkada serentak dapat dikatakan bukan sebuah keharusan bagi negara demokrasi, apalagi ketika pilkada yang dilaksanakan secara serentak akan memunculkan berbagai permasalahan.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.  [6]
”Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9) di Jakarta.
Pelaksanaan sistem pemerintahan yang demokratis menjadi dambaan setiap warga negara. Beberapa ahli membuat indikator terhadap pemerintahan yang demokratis. Suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip Dahl terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi, yaitu :
a. Adanya kontrol atas keputusan pemerintah;
b. Adanya pemilihan yang teliti dan jujur;
c. Adanya hak memilih dan dipilih;
d. Adanya kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman;
e. Adanya kebebasan mengakses informasi;
f. Adanya kebebasan berserikat (Abdillah, 1999).[7]
Jika dilihat dari tujuannya pilkada serentak yaitu untuk efisiensi anggaran negara. Tetapi kita juga harus melihat berbagai permasalahan yang muncul dalam pilkada serentak, seperti calon tunggal, putusan kontroversi MK, sengketa penetapan pasangan calon, bahkan sengketa hasil pilkada tersebut.
Calon Tunggal dan Nasib Pilkada Serentak
Polemik calon tunggal menjadi momok yang menghantui pelaksanaan Pilkada Serentak 2015. Meski tahapan di 9 provinsi, 35 kota, dan 221 kabupaten tetap dilanjutkan karena memiliki cukup pasangan calon, namun peluang beberapa daerah untuk mengalami penundaan usai pelaksanaan verifikasi berkas pencalonan, tetap terbuka lebar.
Ada sekitar 80 daerah yang berpotensi ditunda pelaksanaan pilkadanya, lantaran hanya memiliki dua pasangan calon. Jika salah satu dari calon di daerah tersebut dinilai tidak memenuhi syarat pencalonan dari hasil verifikasi, maka polemik calon tunggal akan muncul kembali.
Tentu saja daerah itu akan bernasib sama dengan empat daerah yang sudah diputuskan untuk melanjutkan pilkada duatahun lagi, yaitu pada 2017 mendatang. Keempat daerah itu adalah Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), dan Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat).
Dalam Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, disebutkan bahwa jika hanya ada satu pasangan calon, maka waktu pendaftaran calon akan diperpanjang selama tiga hari. Jika setelah waktu tambahan tidak juga ada pasangan calon lain, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada periode berikutnya.
Aturan tersebut memang tidak sunyi dari kritik sejumlah pihak yang menginginkan pilkada tetap berlanjut meski calon hanya satu pasang. Tetapi wacana tersebut segera ditampik Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, jika pilkada dilaksanakan dengan hanya mengusung calon tunggal, maka demokrasi tidak akan bisa berjalan.
"Demokrasi langsung tidak jalan. Uang yang jalan atau apapun yang jalan, faktor x yang jalan. Penguasaan yang jalan. Terjadilah pola kekuasaan. Ini bahaya. Kalau begitu diizinkan lama-lama presiden (pilpres) bisa juga aklamasi. Akhirnya demokrasi tidak jalan," kata Kalla, Senin (27/7).[8]
Putusan Kontroversi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember 2015.
"Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.[9]
Mahfud menyatakan bahwa MK harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian, agar MK tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yidkatif. Dengan demikian dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya.
Dalam kaitan inilah, maka dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam melakukan pengujian atau judicial review undang-undang terhadap UUD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan original intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya. MK seharusnya hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada umumnya pembatasan tugas yang demikian dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus atau pembatal norma).
Karena kewenangan MK sebatas menguji, maka MK hanya bisa membatalkan atau menyatakan suatu UU (sebagian pasal atau keseluruhan) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kewenangan ini dalam bahasa hukum dikenal dengan negative legislator, sebuah kewenangan legislasi tetapi bersifat negatif/pasif karena hanya sebatas membatalkan dan/atau menyatakan suatu peraturan tidak mengikat. Berbeda dengan positive legislator yang kewenangannya sampai pada tingkat membuat, membentuk, menetapkan dan mensahkan suatu undang-undang.[10]
Pemilihan Diundur Beberapa Hari Dikarenakan Sengketa Penetapan Pasangan Calon
Penetapan paslon di daerah-daerah ini belum final karena adanya sengketa penetapan calon yang prosesnya hingga ke Mahkamah Agung.
“Beberapa putusan lain sudah kami laksanakan. Seperti sebelumnya untuk Fakfak dan Kaimana (Papua Barat),” ujar Hadar, Selasa (10/11).
Selain di ke enam daerah tersebut, terdapat tiga daerah lain yang juga penetapan calon kepala daerahnya belum final. Hanya bedanya, di ke tiga daerah ini bukan menunggu putusan dari MA. Karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebelumnya tidak mengeluarkan putusan. Hanya berupa kajian, terkait status salah satu pasangan calon yang disebut-sebut masih bebas bersyarat. Sehingga KPU di daerah tak bisa mengambil keputusan.
Ke tiga daerah tersebut masing-masing Boven Digoel (Papua), Bone Bolango (Gorontalo) dan Kota Manado (Sulawesi Utara). 
“Kemudian ada juga terkait status bebas bersyarat. Kami akan putuskan dalam rapat pimimpinan tripartit (tiga lembaga pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP,red)," ujar Hadar.(gir/jpnn)[11]
Berdasarkan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa pemilihan paling lama 12 hari sejak diterimanya laporan atau temuan.
Pasangan calon yang ditetapkan tidak memenuhi syarat dapat mengajukan gugatan ke Panwaslu dengan membawa surat keterangan tidak lolos dari KPU daerah setempat.
Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten-Kota mengenai penyelesaian sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat.
Seandainya pasangan bakal calon kalah dalam proses sengketa panwas, pasangan bakal calon masih bisa megajukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai Pasal 154 UU Nomor 1 Tahun 2015.
“Hampir di seluruh provinsi, khususnya kabupaten-kota. Lebih dari 10 [gugatan pasangan bakal calon], saya yakin akan terus bertambah,” ucap Muhammad.[12]
Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan
Jumlah pasangan calon kepala daerah yang mengajukan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi terus bertambah. Hingga Selasa (22/12) pukul 11.00, Mahkamah Konstitusi telah menerima 131 pendaftaran permohonan sengketa PHP.
Meskipun penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap pertama 9 Desember 2015 di 264 daerah berjalan dengan lancar dan aman tanpa adanya gejolak di masyarakat, namun Mahkamah Konstitusi (MK) bakal tetap `kebanjiran` gugatan sengketa hasil pesta demokrasi tingkat lokal secara serentak yang digelar pertama kali di Indonesia itu.
Hal itu menyusul Pilkada serentak dimana mayoritas dimenangkan oleh Pasangan Calon Kepala Daerah (Paslonkada) petahana dengan cara-cara yang merugikan Paslonkada yang bukan petahana, sehingga mereka mengajukan gugatan ke MK.
"Saya melihat akan tingginya angka gugatan Pilkada yang disebabkan oleh ketidakpuasan pasangan yang kalah karena merasa diperlakukan tidak adil, setelah mencermati maraknya kemenangan petahana di Pilkada serentak ini. Selain memang UU Pilkada sangat pro kepada petahana," kata Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Wahyu Agung Permana saat dihubungi, Kamis (10/12/2015). [13]
Untuk diketahui, aturan terkait jangka waktu penyelesaian perkara PHP dijelaskan dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
MK memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan paling lama 45 hari sejak diterimanya permohonan. Dimana 45 hari tersebut dimaknai sebagai 45 hari kerja.[14]
Dilihat dari pemaparan diatas, Pilkada serentak 2015 memunculkan banyak permasalahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Demokrasi menerangkan kedaulatan dari, oleh dan untuk rakyat. Tidak mengatur waktu pelaksanaan secara serentak, sehingga ketika pelaksanaan Pilkada serentak 2015 banyak memunculkan permasalahan, lebih baik tidak dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Sinamora, Janpatar. Eksistensi Pilkada dalam rangka mewujudkan pemerintahan  daerah yang demokratis
Majalah Suara KPU Edisi II, Maret  April 2015
Majalah Suara KPU Edisi IV, Juli – Agustus 2015
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-5336-abstrak.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/119308-T%2025202-Proses%20penyelesaian-Literatur.pdfhttps://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4322
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36619/bab-06-demokrasi-dan-sistem-pemerintahan-negara.pdf+&cd=2&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/13474751/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak
http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/mahkamah-konstitusi-antara-positive-dan.html
http://www.jpnn.com/read/2015/11/11/337913/GAWAT:-Beberapa-Daerah-Belum-Tetapkan-Pasangan-Calon-
http://www.solopos.com/2015/08/25/pilkada-serentak-2015-bawaslu-terima-lebih-dari-10-aduan-sengketa-penetapan-paslon-636197
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/12/10/50088/0/25/MK-Bakal-Kebanjiran-Gugatan-Sengketa-Hasil-Pilkada-Serentak-2015
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/06/10273771/Kamis.MK.Mulai.Sidangkan.Sengketa.Hasil.Pilkada.Serentak



[1] digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-5336-abstrak.
[2] Majalah Suara KPU Edisi II, Maret  April 2015
[3] http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/119308-T%2025202-Proses%20penyelesaian-Literatur.pdfhttps://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
[4] https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakan-madani.pdf
[5] Eksistensi Pilkada dalam rangka mewujudkan pemerintahan  daerah yang demokratis
[6] http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4322
[7] rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36619/bab-06-demokrasi-dan-sistem-pemerintahan-negara.pdf+&cd=2&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a
[8]  Majalah Suara KPU Edisi IV, Juli – Agustus 2015
[9]http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/13474751/MK.Putuskan.Calon.Tunggal.Tetap.Mengikuti.Pilkada.Serentak
[10] http://donny-tri-istiqomah.blogspot.co.id/2010/08/mahkamah-konstitusi-antara-positive-dan.html
[11] http://www.jpnn.com/read/2015/11/11/337913/GAWAT:-Beberapa-Daerah-Belum-Tetapkan-Pasangan-Calon-
[12] http://www.solopos.com/2015/08/25/pilkada-serentak-2015-bawaslu-terima-lebih-dari-10-aduan-sengketa-penetapan-paslon-636197
[13] http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/12/10/50088/0/25/MK-Bakal-Kebanjiran-Gugatan-Sengketa-Hasil-Pilkada-Serentak-2015
[14]http://nasional.kompas.com/read/2016/01/06/10273771/Kamis.MK.Mulai.Sidangkan.Sengketa.Hasil.Pilkada.Serentak

Share this

Previous
Next Post »