SIKAP KITA : MENOLAK REVISI UU KPK



Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah cita-cita Reformasi Mei ’98. Tiga hal pokok permasalahan Negara yang berkembang biak dengan pesat pada masa Orde Baru. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru Indonesia mulai berbenah dengan segudang permasalahan domestic yang ada. Salah satu hal yang dipercepat penyelesaiannya adalah tentang Tindak Pidana Korupsi, maka dari itu pada tahun 2002 undang-undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diselesaikan. Dan dengan itu pula KPK secara resmi telah lahir dari rahim Reformasi Indonesia.
Barisan mereka yang memiliki ambisi untuk memangkas wewenang KPK datang dari berbagai golongan : politisi DPR, pengusaha, elit penegak hukum, pengacara, maupun elit partai politik. Sejumlah partai politik yang memiliki Fraksi di senayan pun melalui wewenang legislasi saat ini aktif mendesak adanya revisi UU N0.30 TAHUN 2002 tentang KPK. Usaha yang dilakukan  ini telah cukup berhasil dengan masuknya agenda revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 dan disetujuinya agenda ini dalam rapat Badan Legislasi DPR. Upaya melakukan revisi sebuah regulasi biasanya ditujukan untuk memperkuat atau memperbaiki regulasi sebelumnya. Namun, hal ini berbeda dengan rencana revisi UU KPK yang disiapkan oleh DPR. Seluruh rancanganrevisi UU KPK yang dibuat (3 edisi) justru bermaksud melemahkan institusi KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Dari sisi substansi banyak ditemukan poin-poin krusial yang justru dapat melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini menjadi dugaan bahwa ada konsolidasi dari pemilik kepentingan kepentingan tadi untuk membubarkan KPK karena menganggap bahwa KPK adalah ancaman bagi pergerakaan oknum oknum yang akan melakukan tindak pidana korupsi di negeri ini.[1]
Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR.
Dalam draf revisi tersebut, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.
Dari rangkaian usulan revisi itu, berikut lima di antaranya:
1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan
Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan
Pasal 7 huruf d
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”
(Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”)
3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian
Pasal 13                    
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”)


4. Permintaan izin sebelum melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pasal 14 Ayat (1) huruf a
KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.
(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”)
5. KPK tidak memiliki penuntut
Pasal 53 (1)
Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim
(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”)[2]

Atas penjelasan diatas maka kami menyatakan SIKAP :
1.      MENOLAK dengan tegas Revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
dengan alasan yang sudah kami buat sebagai berikut :
A.    Penyadapan yang diwajibkan meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas (Pasal 12B ayat (2) juncto Pasal 12A Poin b Revisi UU KPK) dan penyitaan penyidik dengan izin dari Dewan Pengawas (Pasal 47 Revisi UU KPK) merupakan satu pelemahan, karena:
-          Memperlambat mobilitas KPK.
-          Memporak porandakan fungsi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana anti-korupsi.
-          Merusak hakikat kerahasiaan penyadapan sebagai barang bukti atau petunjuk yang bersifat rahasia.
B.     Pembatasan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik dan penyidik yang harus dari unsur kepolisian atau kejaksaan (Pasal 43 juncto Pasal 45 Revisi UU KPK) akan memenjarakan prinsip independen KPK.
C.     Tata cara pemeriksaan tersangka kasus tindak pidana korupsi berdasarkan pengaturan umum yang tertera dalam KUHP (Pasal 46 ayat (1) Revisi UU KPK) bertentangan dengan karakteristik serta jenis tindak pidana korupsi yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Karena penangan kasus korupsi harus menggunakan penanganan khusus yang tidak sama dengan penanganan kasus pada umumunya.
2.      Meminta Presiden Jokowi agar menolak dengan tegas dan tandas Revisi Undang-Undang KPK. karena bertentangan dengan Poin Ke-4 Nawa Cita Presiden Jokowi.
3.      Memohon seluruh fraksi di DPR untuk membatalkan rencana pembahasan revisi UU KPK di seluruh sidang paripurna DPR agar.
4.      Meminta Pimpinan KPK agar satu pandangan menolak Revisi Undang-Undang KPK. karena pengaturannya cenderung melemahkan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi penindakan dan berpotensi membuka konfrontasi di tubuh KPK karena adanya penentu kebijakan ganda selain Pempinan KPK.
5.      Respon Rakyat Indonesia yang cenderung menolak revisi UU KPK, seharusnya di tanggapi dengan penghentian proses revisi. Karena marwah DPR ialah, mengabdi sebagai perwakilan rakyat di dalam tubuh Pemerintahan yang sampai sekarang masih memegang teguh azas Demokrasi. Di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan Rakyat. Hal tersebut sudah tertuang dalam Pancasila sila ke 4, yaitu “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” yang oleh Bung Karno dan Foundhing Father Negara Republik Indonesia ditafsirkan sebagai landasan Demokrasi Indonesia.
6.      Mengajak Mahasiswa Universitas Negeri Semarang untuk bersama sama satu pandangan menolak Revisi UU KPK agar tidak adanya usaha usaha melemahkan KPK oleh oknum pemilik kepentingan.
Demikian pernyataan sikap oleh kami  yang menolak dengan tegas Revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (Draf Inisiatif DPR dalam Prolegnas Prioritas 2016). Mari bersama sama menolak segala upaya untuk melemahkan KPK agar KPK tetap menjadi lembaga Independen untuk memberantas koruptor koruptor di negeri ini.


[1] Sumber : http://mitrawacana.or.id/publikasi/rilis/pernyataan-sikap
[2] Sumber : Berita Indonesia : Lima pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR

Share this

First