Riview Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis by. A. Sonny Keraf


BAGIAN KETIGA
ILMU PENGETAHUAN DAN MASYARAKAT
BAB IX Ilmu Pengetahuan dan Life world
1.      Permasalahan
C.P. Snow dalam bukunya The Two Cultures, kita boleh membuat pembedaan yang cukup tegas antara dunia ilmu pengetahuan dan life world. Dunia ilmu pengetahuan adalah fakta, sedangkan life world mencakup pengalaman subjektif praktis manusia ketia ia lahir, hidup dan mati, pengalaman cinta dan kebencian, harapan dan putus asa, penderitaan dan kegembiraan, kebodohan dan kebijaksanaan. Ilmu pengetahuan menawarkan cara kerja rasional. Prinsip kausalitas misalnya menjadi prinsip rasional dari ilmu pengetahuan. Sementara itu kita juga tidak bisa melepaskan diri dari dunia sehari-hari dan tradisi dengan segala macam bentuk kepercayaannya dan prakteknya. Dampak ilmu pengetahuan terhadap life world masyarakat dapat diklasifikasi kedalam dua kategori. Yang pertama dampak intelektual langsung, terutama perubahan cara pandang tradisional terhadap realitas, dan yang kedua dampak tidak langsung, melalui mediasi teknik-teknik ilmiah, terutama teknik-teknik produksi dan organisasi sosial.
2.      Dampak Intelektual
Satu per satu gejala-gejala alam diterangkan dengan ilmu pengetahuan. Gejala alam pertama yang melepaskan diri dari cengkraman takhayul dan diterangkan dengan ilmu pengetahuan adalah gerhana (Thukydides). Maka sebagai sistem berpikir rasional, ilmu pengetahuan menjadi sebab terdalam dari lenyapnya banyak kepercayaan tradisional. Secara umum, dapat dikatakan 4 hal baru dari ilmu pengetahuan yang menyebabkan lenyapnya kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Yang pertama, pengamatan lawan otoritas. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial. Munculnya Protestanisme di Eropa dapat dilihat sebagai contoh dari sikap untuk tidak percaya begitu saja pada otoritas. Motif ini merupakan motif terdalam dari para ilmuwan. Ilmu pengetahuan menuntut agar orang tidak mudah percaya begitu saja pada tradisi atau otoritas tetapi percaya pada pengamatan dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua, otonomi dunia fisik. Selain percaya pada pengamatan sendiri, ilmu pengetahuan juga berangkat dari suatu filosofi tentang alam sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki hukumnya sendiri. Dunia fisik mengikuti hukum-hukum fisika, tidak ada pengaruh roh-roh halus.peranan dewa-dewi sebagaimana dianut oleh  banyak agama tradisional lenyap dengan sendirinya juika ilmu pengetahuan diterima secara konsekuen.
Ketiga, disingkirkannya konsep tujuan. Lain dari agama ilmu pengetahuan hanya mengenal sebab efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa lampau lebih penting dari masa depan sebab final tidak diberi tempat dalam pandangan ilmiah tentang dunia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan lebih memperhatikan konsep kausalitas dibandingkan konsep finalitas.
Keempat, tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi, tampaknya ilmu pengetahuan merendahkan manusia. Lain dari gambaran yang diberikan oleh agama-agama yang menempatkan bumi dan manusia sebagai pusat dari alam semesta, ilmu pengetahuan justru tidak segan-segan menjelaskan bahwa manusia tidak banyak artinya dalam seluruh alam semesta. Namun dari segi praktis, ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena dengan ilmu pengetahuan manusia dapat berbuat banyak. Manusia tampak menjadi lebih berkuasa, dan memang ilmu pengetahuan telah meningkatkan kesadaran akan kekuasaan.
3.      Dampak Sosial Praktis
Ilmu pengetahuan memungkinkan kita melakukan berbagai hal. Suatu teori ilmiah di satu sisi dapat menjadi suatu Theory of Knowledge (Teori Pengetahuan), di sisi lain menjadi Theory of Action (Teori Tindakan). Bagaimana ilmu pengetahuan menjadi teori tindakan? Selain melalui teknik-teknik ilmiah yang digunakan dalam konteks interaksi komunitas manusia. Manfaat ilmu pengetahuan bagi kemajuan umat manusia seperti mengurangi hal-hal buruk, seperti penghapusankemiskinan dan jam kerja yang berlebihan. Dalam konteks yang sama kita juga dapat berbicara tentang manfaat ilmu pengetahuan dalam memperbesar kekuasaan manusia.
Maka teori-teori ilmiah, melalui teknik, dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk memperbesar kekuasaan manusia atas alam dan atas mmasyarakat. Kekuatan-kekuatan teknik ilmiah itu menjadi nyata ketika dikembangkan dalam interaksi komunitas manusia. Tetapi kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak sama dengan kemampuan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan dari orang-orang yang dididik dengan ilmu penegetahuan dan teknologi.
Kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi tidak dengan sendirinya menghasilkan suatu masyarakat yang enlightened. Teknologi hanya memperbesar kontrol kita atas alam, atas masyarakat, dan atas diri kita sendiri. Dengan demokian adanya bahaya bahwa teknologi justru mrlayani nafsu akan kekuasaan atau keinginan irasional untuk mendominasi. Seperti dikatakan oleh Jurgen Hubermas, nafsu ini hanya dapat diatasi dengan mengembangkan suatu proses pengembilan keputusan berdasarkan diskusi yang bebas dari pelbagai macam bentuk dominasi.
4.      Watak Intelektual
Setiap orang mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan masyarakat ilmiah pada umumnya, yaiut taat pada rasio. Inilah watak intelektual nomor satu dan satu-satunya. Ciri-cirinya dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, adanya keinginan untuk mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan untuk menyetujui ilusi-ilusi yang menyenangkan. Setiap orang harus memiliki keingintahuan untuk memahami fakta-fakta penting bagi kehidupan manusia dan siap membuka diri bagi kebenaran-kebenaran penting lainnya. Berkaitan dengan itu, sikap ilmiah yang lain adalah menjunjung tinggi keterbukaan. Seorang ilmuwan harus membuka diri pada fakta-fakta baru dan mencoba berusaha memahaminya demi kebahagiaan umat manusia.
Sehubungan dengan kalimat terakhir ini, perlu ditegaskan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara cinta dan kejujuran ilmiah. Mencintai demi kebahagiaan umat manusia merupakan sikapilmiah yang otentik. Namun ilmuwan tahu bahwa ia tidak dapat mengumbar perasaan tanpa mencari jalan untuk memecahkan masalah penderitaan.
Efektivitas dari ilmu pengetahuan untuk memberikan harapan itu tidak dapat diragukan lagi. Ilmu pengetahuan dapat menawarkan kemungkinan-kemungkinan kesejahteraan hidup yang jauh lebih besar bagi umat manusia daripada yang pernah dikenal sebelumnya, dengan syarat; penghapusan perang, distribusi kekuasaan, dan pembatasan pertumbuhan penduduk. Maka jika perdamaian dan demokrasi diciptakan dan pertumbuhan penduduk mendekati nol persen, kemakmuran material akan tumbuh sangat cepat, dan hal ini dapat menciptakan kemurahan hati.
BAB X Ilmu Pengetahuan dan Politik
1.      Pengantar
Ilmu pengetahuan telah berhasil menjadi sarana bagi pengembangan kekuasaan serta kontrol terhadap masyarakat. Ilmu pngetahuan mampu membantu para penguasa untuk mengembangkan organisasi sosial yang semakin solid dan dapat dipakai untuk kepentingan kekuasaan. Inilah masalah yang dewasa ini ingin mengembangkan suatu masyarakat modern dengan imu pengetahuan dan teknologi sebagai basis rasionalitasnya.
2.      Teknik Ilmiah dan Kekuasaan
Teknik ilmiah dan kekuasaan memiliki hubungan yang sangat dekat. Sejarang bangsa-bangsa mencata dua contoh hubungan yang sangat erat itu, yaitu praktek oligarki dan perang. Yang dimaksud oligarki adalah sistem apapun dengan kekuasaan tertinggi hanya dimiliki sekelompok orang, misalnya orang kaya tanpa orang miskin, Islam tanpa Kristen. Monarki dapat dilihat sebagai bentuk oligarki ektrem. Sedangkan perang merupakan suatu praktek kekuasaan dengan tujuan mengalahkan dan menghancurkan seluruh potensi musuh.
A.    Oligarki
Salah satu keunggulan oligarki zaman modern adalah bahwa sistem pemerintahan itu menggunakan teknik-teknik ilmiah untuk memperkukuh organisasi sosialnya. Sistem ini dinilai jahat karena mengandung sifat totaliter dan egoistis. Kekuasaan oligarki memiliki jangkauan yang semakin luas dan intensif, sehingga memiliki kekuasaan yang lebih bear didukung oleh kecenderungan organisasi untuk menjadi semakin besar bersatu padu dalam negara. Oligarki memperkokoh sifat buruk manusia pada umumnya, yaitu lebih memperhatikan kepentingan sendiri daripada kepentingan kelompok atau masyarakat.
Banyak oligarki modern dibangun di atas kepercayaan pada prinsip-prinsip dasar tertentu. Negara semacam itu tidak memungkinkan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan menerbitkan buku. Teknik-teknik ilmiah pun dikembbangkan untuk menjamin pengawasan yang sempurna atas pendapat orang. Begitu pula sistem perekonomian dengan sistem kerja paksa. Sistem ini bisa memberi manfaat sangat besar, namun sistem ini telah menimbulkan rasa takut luar biasa bagi rakyat biasa.
Pemerintah oligarkis dewasa ini mengandung bahaya yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan apa yang bisa dilakukan oleh para penguasa yang depotis sebelumnya, karena teknik ilmiah dewasa ini memiliki kemampuan untuk mendudukkan banyak orang. Selain penemuan dalam bidang senjata-senjata ampuh yang mematikan manusia, ilmu fisiologi dan psikologi dapat memberi pemerintah kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan mentalitas individu. Dalam situasi semacam ini, barangkali tepat kalau orang menginginkan ditegakkannya demokrassi dan hak-hak asasi manusia.
B.     Perang
Selain oligarki, teknik ilmiah dapat menimbulak kejahatan lain yang menghancurkan yaitu perang. Sejarah ilmu pengetahuan hampir tidak lepas dari keterlibatan ilmuawan dalam urusan perang. Akibat-akibat perang seperti penyakit sampar tidak dirasakan lagi dewasa ini. Namun ada tanda-tanda kejahatan perang meningkat. Bom atom dan lagi bom hidrogen menimbulkan ketakutan-ketakutan baru dan membangkitkan keraguan baru mengenai dampak ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia.
Semua orang dewassa ini tentu tidak mengharapkan suatu perang apapun dimasa mendatang. Namun perang itu tidak akan terjadi hanya dengan satu syarat yaitu, jika kita tidak mau kehidupan ini punah. Jalan satu-satunya adalah kita harus belajar taat kepada hukum, bahkan pada hukum yang diputuskan oleh orang-orang yang kita benci. Dalam proses itu jjika manusia harus hidup berlanjut, umat manusia harus belajar mendisiplinkan hasrat dengan taat kepada hukum, bahkan pada hukum yang tidak adil dan kejam. Ini adalah prinsip Akal Budi, lawan dari prinsip Kematian.
3.      Demokrasi
Jika ilmu pengetahuan memiliki potensi meghancurkan, bagaimana menata kembali masyarakat yang ditentukan oleh perangkat teknik-teknik ilmiah sehingga ilmu pengetahuan tidak membawa kehancuran, melainkan memberikan harapan baru bagi manusia yang lebih mencintai kehidupan daripada kematian. Diantara pilihan-pilihan yang harus diambil, barangkali sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kita menghendaki suatu masyarakat yang demokratis.
Demokrasi biasa dihubungkan dengan gagasan gagasan kebebasan, baik itu kebbebasan dari kukungan penguasa yang despotis, maupun kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Namun ketika teknik-teknik ilmiah mulai dipakai secara luas di dalam masyarakat, maka demokrasi tidak saja menjadi kata kunci untuk melawan penguasa yang despotis melainkan suatu kata kunci untuk melindungi individu dari masyarakat itu sendiri.
Ada tiga urgensi dari diterapkannya demokrasi dalam masyarakat ilmiah, yaitu agar individu dapat melihat dirinya berguna, sedapat mungkin terlindungi dari kemalangan yang seharusnya tidak ia terima, dan memiliki kesempatan untuk berinisiatif dengan segala macam cara positif yang tidak merugikan orang lain.
4.      Peranan Ilmuwan
Banyak ilmuwan memainkan peranan yang tidak kecil dalam pengambilan putusan politik baik dengan menjadi staf dalam bidang penelitian milik pemerintah maupun dengan menjadi staf dalam lembaga konsultasi publik. Namun, persoalan keterlibatan para ilmuawan dalam rangka rasionalisasi masyarakat tidak dengan sendirinya memenuhi harapan sehingga suatu masyarakat yang demokratis dapat dibentuk. Permasalahannya justru terletak pada sifat hubungan antara ilmuwan yang ahli dalam bidang-bidang tertentu dengan politisi yang berwenang untuk mengambil keputusan publik.
Mengikuti J. Habermas, ada tiga model kerjasama antara ilmuwan dan politisi. pertama adalah decisionistic model (model keputusan berdasarkan pertimbangan kepentingan). Dasar kerjasama menurut model ini adalah hubungan yang erat antara nilai dan kepentingan dan teknik yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan, nilai, dankepentingan itu. Ilmu pengetahuan dan teknik-teknik ilmiah dimanfaatkan untuk melegitimasi kebijakan pemegang kekuasaan.
Model yang kedua adalah Technocratic model. Model kerjasama ini mengunggulkan peranan ilmuwan profesional. Pemegang kekuasaan tergantung pada para ilmuwan yang menjadikan dirinya sebagai salah satu organ dari masyarakat. Kesulitan utama pendekatan ini sebenarnya terletak dalam pandangan yang menegaskan bahwa masalah praktis dapat dipecahkan dengan pendekatan teknis.
Pragmatic model merupakan model ketiga. Model ini melihat bahwa antara ilmuwan dan politisi memiliki interksi kritis dalam suatu diskusi yang dilengkapi ddengan informasi dan pertimbangan-pertibangan ilmiah. Kedua belah pihak tidak saling memanfaatkan dan menguasai. Hubungan anataranya bersifat timbal balik. Sementara itu, kepentingan-kepentingan sosial yang tercermin dalam sistem sosial masyarakat itu dipenuhi dan sekaligus juga dipertanyakan dengan melihat kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
Diantara ketiga model tersebut, yang paling mendekati tuntutan bagi demokrasi adalah model pragmatis. Hanya pendekatan pragmatis yang menegaskan bahwa hanya komunikasi antara ilmuwan dan pelaku politik menentukan arah dari pengembangan teknik dengan dasar tradisi untuk memecahkan masalah kebutuhan-kebutuhan praktis. Komunikasi semacam itu dapat berakar pada kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung muatan orientasi nilai dari suatu life-world.
Dalam hal ini, ilmuwan harus bisa melibatkan diri. Selain dalam spesialisasinya, ia juga harus terlibat dalam seluruh proses self-understanding masyarakat. Dalam rangka self-understanding itu juga, seorang ilmuwan harus dapat mengintegrasikan kebudayaan teknik dengan kepribadian kultural. Keseimbangan antara kemajuan dan tradisi serta kreatifitasnya harus dikembangkan karena hanya spiritualitas yang berakar pada kebudayaan setempat yang bisa memberi makna bagi dunia metial dan teknis.
BAB XI Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
1.      Pengetian bebas Nilai
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kkpeda ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan.ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata berdasakan pertimbanagan ilmiah murni. Agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepda pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehinggga malah mengalami distorsi. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan tidak murni sama sekali. Sesungguhnya ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri peduli terhadap nilai tertentu, yaitu nilai kebenaran dan dalam kaitan dengan itu nilai kejujuran.
Dengan demikian, yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk kepada nilai dan pertimbangan lain dari luar ilmu pengetahuan.
2.      Dua Kecenderungan Dasar
A.    Kecenderungan puritan-elitis
Kecenderungan puritan-elitis beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah demi ilmu pengetahuan. Bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan ini hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja. Maka, ilmu pengetahuan bagi mereka dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan menjadi bidang yang sangat elitis. Ilmu pengetahuan hanya dicapai dan digeluti oleh segelintir orang saja. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu yang mewah, jauh dari kehidupan real manusia. Jelas bahwa posisi dasar dari kecenderungan puritan-elitis adalah bahwa ilmu harus bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus lepas dari segala pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Kerna tujuan dari ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, menemukan penjelasan onjektif dari segala sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain diluar ilmu pengetahuan.
B.     Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis pun beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup manusia.
Bagi kelompok ini, ilmu pengetahuan menjadi menarik jusru karena ia berguna membantu manusia. Tanpa itu ilmu pengetahuan tidak ada artinya sama sekali. Karena itulah, sebagaimana sudah kita jelaskan hingga sekarang, yang disebut pengetahuan maunisia tidak hanya “tahu bahwa”, “tahu akan”, dan “tahu mengapa”, melainkan juga “tahu bagaimana”. Kebenaran ilmiah tidak hanya bersifat logis rasional dan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu juga berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia.
Bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan betul sangat membantu manusia untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang lebih manusiawi, adil, bahagia, sehat, dan menyenangkan. Ilmu pengetahuan betul-betul melayani kepentingan manusia dan bukan demi ilmu pengetahuan semata. Jadi yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan, aspek kegunaan.
3.      Sintesis: Context of Discovery dan Context of Justification
A.    Context of Discovery
Context of Discovery menyangkut dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Ilmu pengetahuan tidak munculmendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, ilmuwan dimotivasi oleh keinginan, baik itu bersifat personal maupun kolektif, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekadar kebenaran ilmiah murni. Ada perasaan, keinginan, kepentingan pribadi, sosial, budaya, politik yang ikut mewarnai dan mendorong penelitian kegiatan ilmiah. Ada pandangan religius, moral, tradisi, dan macam-macam hal lain di luar ilmu pengetahuan yang ikut mewarnai lahirnya ilmu pengetahuan. Semua hal ini menentukan serta mempengaruhi seluruh kegiatan ilmiah.
Penelitian ilmiah dan Ilmu Pengetahuan itu sendiri merupakan haril dari berbagai faktor. Pertama, keputusan masing-masing ilmuwan tentang masalah mana yang ingin mereka teliti atau pecahkan. Kedua, keputusan dari berbagai lembaga penelitian tentang jenis penelitian yang mereka lakukan. Ketiga, keputusan lembaga penyandang dana. Ini pun dipengaruhi oleh minat, nilai, ideologi dari lembaga tersebut. Keempat, keputusan dan kebijaksanaan umum dalam masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasat tersebut, tidak bisa disangkal bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat mempengaruhinya.
B.     Context of Justification
Context of Justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan ketgori dan kriteria yang murni ilmiah.dimana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya, serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu.
Konteks pembuktian hipotesis atau teori, yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria ilmiah. Satu-satunya yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Satu-satunya nilai yang berlaku dan bdiperhitungkan adalah nilai kebenaran.

Dengan perbedaan kedua koteks diatas, mau dikatakan bahwa Context of Discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Tetapi dalam Context of Justification ilmu pengetahuan bebas nilai. Tujuan dari perbedaan ini adalah untuk melindungi objektivitas dari hasil kegiatan ilmiah, dan dengan demikian sekaligus melindungi otonomi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pada tahap penemuan ilmu pengetahuan memang tidak otonom seratus persen. Tetapi pada tahap pengujian, ilmu penngetahuan harus otonom mutlak, karena hanya berada di bawah pertimbangan ilmiah murni.
Konsekuensinya, pertama, tujuan ilmiah dari penelitian harus dibedakan dari tujuan pribadi dan sosial yang terkandung dalam penelitian ilmiah. Kedua, kemajuan ilmiah harus dibedakan dari kemajuan sosial pada umumnya, walaupun keduanya berkaitan secara timbal balik. Ketiga, rasionalitas, kaidah ilmiah dan kriteria ilmiah hanya berkaitan dengan penilaian kebenaran, dengan bukti-bukti empiris dan rasional. Keempat, dalam kaitan dengan ilmu-ilmu empiris, penilaian mengenai hasil-hasil kegiatan ilmiah hanya didasarkan pada keberhasilan dan kegagalan empiris, ada tidaknya fakta dan data empiris yang mendukung kesimpulan. Kelima, hanya ilmuwan yang punya wewenang untuk memberi penilaian tentang fakta dan data, dan sekaligus tentang kebenaran hasil penelitian.
Bagaimana dengan hasil penelitian ilmiah yang terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria ilmiah, tetapi ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral religius tertentu? Contohnya adalah Cloning. Dari segi Context of Justification, kriteria kebenarannya tidak bisa dibantah. Tetapi dari segi Context of Discovery, pertanyaannya adalah apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut berguna? Kalau ternyata tidak berguna, kalau ternyata merendahkan martabat manusi, hasil tersebut perlu ditolak. Disini otonomi ilmiah tidak dilanggar. Hanya saja menusia menolak hasil tersebut karena mereka merasa tidak ada gunanya. Dalam hal ini, masyarakat hanya menggugah kesadaran ilmuwan itu untuk mengembangkan terus ilmunya yang merugikan masyarakat itu atau menghentikannya, dan ituberarti ia tetap otonom.


Share this

Previous
Next Post »