Integrasi Nasional: Strategi Melawan Konflik Sara untuk Memperkukuh Kebhinnekatunggalikaan


Dipenghujung 2016 keadaan sosial dan politik di Indonesia menanas, hal tersebut dipicu oleh pernyataan saudara basuki tjahaja purnama yang dinilai melaukan penistaan terhadap agama islam. Sehinggga terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh suatu identitas. Demonstrasi tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Aksi Damai 411” dan “Aksi Damai 212”. Dalam perjalanannya, kasus tersebut seolah-olah dipolitisasi sehingga bukan lagi isu yang sebenarnya. Bahkan sampai menimbulkan benturan antar satu identitass dengan identitas yang lain. Masyarakatpun semakin cemas ditambah dengan adanya pemberitaan makar. Sehingga dalam frame masyarakat negara ini sarut marut hanya untuk saling memperoleh kekuasaan.
Salah satu inisiatif lahir dari mahasiswa PPKn Unnes 2014, dengan media akademik mahasiswa PPKn 2014 tersbut mengadakan Diskusi Panel Nasional dengan tema “Integrassi Nasionnal: Strategi melawan Konflik Sara untuk Memperkukuh Kebhinnekatunggalikaan”. Dalam diskusi tersebut diisi oleh beberapa panelis, yaitu Drs. Ilyas, M.Ag., Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc., Kombespol Susilo Teguh Raharjo., dan Sudjiwo Tejo. Selain itu kegiatan tersebut juga dikuti oleh kurang lebih 250 mahasiswa dari berbagai fakultas dan universitas. Martien Herna Susanti, S.Sos., M.Si. selaku moderator yang memandu acara tersebut memulai diskusi dengan menyampaikan beberapa isu mengenai kebhinnekaan atau Diversity.
Kepala Bidang Hukum Akademi Kepolisian bapak Teguh menyampaikan bagaimana strategi melawan konflik sara dalam perspektif hukum dan kepolisian. Jika kita lihat kembali sejarah perjuangan bangsa, tentunya kita akan menemui musuh bersama yang kemudian menjadi perhatian bersama. Dari situlah muncul perjuangan bangsa sampai pada akhirnya merdeka pada tahun 1945. Tentunya pada saat itu pun tak lepas dari yang namanya kebhinnekaan, dimana indonesia memiliki berbagai macam agama, suku, bahasa, sampai nilai kearifan lokal dimasing-masing derah. Untuk menjaga integrassi nasional kita harus kembali pada 4 konsensus dasar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Dalam kebhinnekaan ada beberapa faktor yang mempengarushi, yaittu faktor internal dan eksternal. Faktor internal salah satunya adalah dominasi low class atau kelas bawah. Dimana indentitas kelas bawah tersebut memiliki jumlah yang lebih banyak. Dalam faktor eksternal, perkembangan dan perubahan sosial dunia global semakin didominasi oleh negara-negara maju. Dimana terdapat perubahan kekuatan dunia untuk saling memperebutkan ketahanan pangan. Selain itu juga dalam bidang Ipoleksosbudhankam, serta adanya terorisme, aksi masa, separatisme dan intoleransi. Media sosial menjadi tantangan tersendiri, sebab siapa saja bisa menjadi pemilik media.
Kemudian apa saja yang menjadi peran dan kewajiban POLRI?. Diantaranya adalah Zero Tolerance Policing, Intelligent Let Policing, Democratic Policing, serta Local Color Policing. Dimana POLRI menjadi dinamisator, katalisator, dan negosiator. Tentunya peran ini harus mendapat dukungan dari masyarakata khususnya dari mahasiswa, sebab mahasiswa memiliki rasionalitas, dan logika yang sehat.
Dilanjutkan dengan pendapat dari tokoh agama yaitu Bapak Ilyas yang berpendapat bahwa manusia kurang mensyukusi nikmat betapa enaknya hidup ini. Kita tak perlu bertengkar karena karena hidup in enak sekali. Adanya penyerangan airan-alirang atau paham-paham di perguruan tinggi merupakan bahaya yang sangat berpotensial dan harus kita cegah. Hidup ini bukanlah suatu kesalahan sejarah dari Tuhan, sehingga kita harus pandai mensyukuri nikmat. Mental manusia harus dibentuk menjadi mental yang kuat terhadap berbagai konflik yang mencoba menyerang NKRI. Disinilah peran penting sinergitas antar identitas.
Sedangkan Budayawan Sudjiwo tejo menyampaikan bahwa kerukunan di negara ini tidak akan tercipta jika kita tidak membuat kesimpulan dalam diri kita sendiri yaitu toleransi. Kita harus bahwa satu perbedaanlah yang saling mempersatukan, seorang laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kelamin, tetapi mereka menikah untuk bersatu. Kita analogikan bahwa kita harus hidup seperti musik yang memilik berbagai nada tetapi tetap memberikan harmoni, sehingga menjadi indah hidup ini. Tentu kita sadar bahwa kita harus menempatkan objek ketiga sebagai indikator dan penyeimbang hidup ini.
Pendiri Padepokan Karakter Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc., menyampaikan bagaimana strategi melawan konflik sara dalam perspektif pendidikan. Dalam pandangannya bangsa Indonesia memanglah berbhinneka, tetapi kebhinnekaan itu tunggal. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya karena miskomunikasi dan kepemimpinan yang tidak efektif atau keberpihakan. Saat ini manusia telah menjadi padang pemburuan para ahli. Pentingnya pendidikan karakter untuk menciptakan manusia yang bermoral dan berkarakter, mulai dari character knowing, character feeling, dan character action.

Saat ini kita sulit membedakan antara tokoh politik dan tokoh agama. Keduanya mempunyai perbedaan dibidangnya masing masing. Tetapi keduanya pula memiliki pengaruh yang luas dalam masyarakat. Sistem yang saat ini dilakukan oleh tokoh politik dan tokoh agama sudah tak berbeda jauh. Apalagi saat tokoh agama masuk dalam dunia politik. Sebagai bangsa yang najemuk kita harus pandai bertoleransi satu sama lain. Sebab sebagaimana yang dikatakan Bung karno, bahwa negara Indonesia yang kita dirikan, harus kita dukung seutuhnya, semua buat semua, Indonesia buat Indonesia.

Sumber Gambar 
http://bbmsepsite.blogspot.co.id/2015/06/identitas-integrasi-nasional.html

Share this

Previous
Next Post »