BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah Krisis pangan
merupakan salah satu isu utama yang menjadi perhatian dunia di samping krisis
energi. Hal ini ditandai dengan
melonjaknya harga-harga pangan
dunia seperti makanan
pokok berupa gandum, kedelai, beras, dan jagung. Penurunan pasokan
berdampak pada harga pangan di
pasar dunia semakin
melambung, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin
harus membayar lebih
mahal dibandingkan orang
kaya di negara maju. Kontribusi
sumbangan dari sektor pertanian terhadap PDB di negara maju hanya 3-5%,
pertanian tetap diperlakukan sebagai sektor dengan prioritas tinggi.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO)
memprediksikan akan terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara permanen dari
tahun 2007 hingga tahun 2016. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian dunia.
Persoalan pangan tidak hanya berkait
dengan konsumsi dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian
yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat melaksanakan
pembangunan pertanian: (1) akses terhadap kepemilikan tanah; (2) akses input
dan proses produksi; (3) akses terhadap pasar; dan (4) akses terhadap
kebebasan. Dari keempat prasyarat di atas, jika kita lihat yang belum
dilaksanakan secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan
tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan
sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal
itu karena dianggap mempunyai resiko politik tinggi. Kebijakan pemerintah lebih
banyak di fokuskan pada produksi dan pasar.
Selain itu kenaikan
harga minyak dunia juga menjadi determinan atas
krisis pangan yang melanda dunia saat ini, salah satu faktornya
adalah kenaikan harga minyak bumi. Harga minyak yang tinggi,
mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan
ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas yang tak bisa
mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam.
Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi
berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel.
Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol.
Hal ini
menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit
ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan
beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini
sebenarnya mulai muncul pada periode tahun 2005 yang lalu pada
saat beberapa negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti
AS, China, Brasil Australia dan negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas
pangan secara besar-besaran.
Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan
minyak yang berbasis fosil dan lagi-lagi perubahan Negara-negara di
dunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini. Dari uraian latar
belakang di atas, maka penulis tertarik membuat judul makalah yaitu “Krisis
Pangan Dunia” yang akan memaparkan mengenai krisis pangan yang terjadi di dunia
darikemunculannya hingga saat ini.
1.2. Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut.
1.
Apa yang menyebabkan
krisis pangan dunia?
2.
Bagaimana cara
mengatasi krisis pangan dunia?
1.3. Tujuan
Dalam suatu penulisan tentu terdapat suatu
tujuan yang hendak dicapai. Maka tujuan dari penulisan makalah ini sesuai
dengan rumusan masalah yang sudah terurai di atas adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui apa
penyebab krisis pangan dunia.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana cara mengatasi krisis pangan dunia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Faktor Penyebab Krisis Pangan Dunia
1.
Penduduk
Dunia yang Kian Bertambah
Ketika penduduk semakin bertambah maka konsumsi dunia
yang semakin tinggi. Tingginya permintaan ini disebabkan salah satunya oleh
semakin bertambahnya penduduk di tiap-tiap negara setiap tahunnya. Laster
Brown, kepala lembaga kebijakan bumi di Washington DC, mengemukakan bahwa
keterbatasan pangan dapat menyebabkan runtuhnya peradaban dunia. Menurut Brown,
manusia mempertahankan kehidupannya dengan mengikis tanah dan menghabiskan
persediaan air tanah lebih cepat dari pemulihannya kembali. Laporan kompas
menjelaskan bahwa populasi manusia di dunia mengalami peningkatan sebesar 1,2%
setiap tahunnya sehingga kenaikan konsumsi pangan harus bisa mengimbangi
pertambahan penduduk demi kelangsungan hidup di masa depan.
2.
Cuaca
Ekstrem
Perubahan cuaca cukup ekstrem yang terjadi di beberapa
negara termasuk salah satu faktor yang memberikan dampak negatif bagi produksi
pangan. Beberapa wilayah bahkan tidak hanya mengalami gagal panen, tetapi juga
turut merusak lahan produksi sehingga kecukupan pangan bisa terganggu dalam
waktu yang cukup lama. Hal ini tampak jelas di beberapa negara, baik negara
maju, berkembang maupun miskin. Pada bulan November 2007 terjadi topan Sidr
menewaskan ribuan orang di Bangladesh dan menyapu lahan-lahan padi di negara
itu. Lebih lanjut, berita dari media Epochtime menyebutkan bahwa pada tahun
2010 banyak wilayah penghasil pangan dunia diterpa berbagai bencana alam dan
musibah yang menyebabkan produksi bahan pangan merosot drastis.
3.
Pembatasan
Ekspor
Kenaikan harga pangan dunia juga dipicu oleh perlindungan
persediaan pangan dalam negeri masing-masing negara sehingga menurunkan
kuantitas jumlah ekspor bahan makanan di pasaran internasional. Direktur
organisasi perdagangan dunia (WTO), Pascal Lamy, di Jenewa pada 22 Januari
2011, Swiss, mengemukakan bahwa pembatasan ekspor saat ini menjadi penyebab
utama melonjaknya harga pagan dunia. Kebijakan tersebut mengkhawatirkan karena tidak hanya akan
mengganggu harga pangan di pasaran, tetapi juga ancaman bagi negara-negara yang
amat bergantung kepada pasokan impor untuk memenuhi kecukupan pangan mereka.
Lamy mengungkapkan pembatasan ekspor telah memainkan peran utama dalam krisis
pangan.
4.
Trend
Energi Alternatif Biofuel
Salah
satu faktor penyebab krisis pangan dunia adalah kebijakan energi alternatif
biofuel yang banyak dikembangkan di negara-negara industri maju. Jagung dan
kelapa sawit misalnya, kedua pangan itu sebelumnya untuk konsumsi masyarakat dunia, tetapi saat
ini banyak dijual untuk biofuel yang permintaannya cukup tinggi. Keterkaitan
biofuel dengan kenaikan harga pangan memang sangat erat. Hal ini terjadi karena
beberapa komoditi pangan kini dipergunakan sebagai bahan baku biofuel. Jika
harga beli jagung dan kedelai untuk kebutuhan
biofuel lebih tinggi dibanding harga beli untuk kebutuhan konsumsi, maka
pelaku pasar memiliki kecenderungan untuk menjual hasil panen jagung dan
kedelai mereka ke produsen biofuel. Seperti yang terjadi di Cina, pengalihan
produksi jagung untuk biofuel menyebabkan kelangkaan pakan ternak di negara
itu. Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan
yang melanda dunia saat ini, salah satu faktornya adalah kenaikan harga minyak
bumi. Harga minyak yang tinggi, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong
kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan
produksi minyak bumi dan gas yang tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan
akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan
untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke biofuel. Minyak
sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio
ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan
semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan
utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan
produksi ini sebenarnya mulai muncul pada periode tahun 2005 yang lalu pada
saat beberapa negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS,
China, Brasil Australia dan negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen
komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis
fosil. Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara di dunia sangat lambat
diantisipasi oleh negeri ini. Ada beberapa faktor penyebab krisis pangan.
Namun, kehadiran biofuel bukan tanpa dampak negatif.
Munculnya biofuel menghasilkan ancaman terhadap food security. Peningkatan
permintaan biofuel akan mempertinggi ancaman food security karena lahan yang
sebelumnya digunakan untuk pertanian dikonversi menjadi lahan biofuel.
Akibatnya, kuantitas produksi pangan menurun. Kita harus siap menghadapi
kekurangan bahan pangan. Petani tidak bisa disalahkan. Ketika permintaan
biofuel meningkat seiring tingginya harga minyak dunia, tentu mereka memilih
menanam untuk biofuel. Apalagi ada insentif ekonomi. Alhasil, di beberapa
negara, tanaman pangan diubah menjadi bahan mentah biofuel. Di Brazil dan AS
panganan seperti singkong, jagung, sugarcane, dan sorghum telah dijadikan bahan
mentah untuk biofuel. Dengan menggunakan sugarcane, Brazil memproduksi 4 miliar
galon biofuel setahun. AS memproduksi 3 miliar ethanol dari jagung.
2.2. Upaya
Alternatif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan
Pertama, negara perlu memaksimalkan kemampuan nasional
dalam konsep ketahanan pangan. Sektor pangan seperti pertanian, perkebunan dan
peternakan perlu difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Pemerintah dituntut untuk berperan dalam menjamin ketersediaan kebutuhan pokok
masyarakat pada semua lapisan sosial. Pemerintah perlu menjadikan sektor
pertanian sebagai sektor utama pembangunan ekonomi. Dengan memaksimalkan
kemampuan domestik dalam arti sumber daya alam (lahan) dan para ahli
(teknologi), diharapkan ketahanan pangan dapat terwujud.
Kedua, dibutuhkan peran pemerintah yang proporsional
dalam menjaga stabilitas harga produk pangan sehingga masyarakat pada semua
lapisan sosial mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam akses pemenuhan
kebutuhan pangan. Peran pemerintah dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan yang
lebih berpihak pada petani dan kaum ekonomi lemah dengan transparansi subsidi
impor dan prioritas kebijakan impor dalam kondisi darurat sehingga harga produk
pangan relatif stabil dan semua masyarakat mendapat akses yang sama dalam
pemenuhan kebutuhan pangan.
Ketiga, pemerintah harus dapat melaksanakan kebijakan
untuk menjaga kestabilan harga pangan. Di saat panen raya, misalnya, pemerintah
harus membeli produk pangan dengan harga yang rasional demi kesejahteraan petani, sedangkan di saat
gagal panen, pemerintah menjadi tiang penyangga dalam menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan.
Keempat, sektor pertanian perlu didorong untuk selalu
melakukan inovasi-inovasi mutakhir dengan memberikan insentif pertanian supaya
petani termotivasi dan berkembang. Aspek ini yang secara tidak langsung sangat
mempengaruhi kinerja dan semangat hidup petani adalah akses pendidikan dan
kesehatan bagi keluarganya sehingga dukungan terhadap aspek-aspek ini dapat
meningkatkan kesejahteraan petani sebagai aktor utama dalam perkembangan sektor
pertanian.
Pada akhirnya muncul kompetisi antara food dan fuel dalam
penggunaan lahan. Meningkatnya produksi biofuel berkorelasi dalam pengurangan
lahan untuk komoditas pangan. Sayangnya, hingga kini belum ada aturan untuk
masalah ini. Tidak hanya masalah lahan, food dan fuel bersaing di bidang
investasi rural, pembangunan infrastruktur, tenaga kerja terlatih, dan
masalah-masalah lainnya. Terlihat bahwa biofuel lebih diutamakan. Infrastruktur
untuk lahan biofuel lebih diutamakan dan investastor lebih tertarik memproduksi
biofuel. Semua fakta itu menunjukkan sebuah fenomena kepada kita: ada ancaman
terhadap food security.
Negara-negara yang memiliki kemampuan produksi pangan
yang lemah maka secara langsung akan menderita krisis pangan terutama di sini
adalah negara-negara berkembang. Krisis pangan global tersebut jika dibiarkan
begitu saja tentunya akan segera mempengaruhi ketahanan pangan global, sehingga
dibutuhkan perhatian dan penanganan yang lebih serius. Berbagai upaya telah
dilakukan misalnya program liberalisasi perdagangan dalam bentuk perdagangan
bebas sehingga distribusi bahan pangan antar negara dinilai dapat menjadi lebih
mudah. Sistem yang diprakarsai negara-negara maju terutama AS ini kemudian
banyak dianut oleh negara-negara terutama negara berkembang karena dianggap
dapat mengatasi permasalahan yang dialami. Negara-negara berkembang tersebut
kemudian mendapatkan bantuan dari negara-negara barat dengan syarat membuka
pasar mereka untuk barang impor. Dalam hal ini negara-negara maju telah
berhasil membentuk sistem internasional berupa perdagangan bebas yang telah
berlaku hampir di seluruh negara hingga sekarang.
Realitanya krisis pangan hingga sekarang masih terjadi.
Pada tahun 2007-2008 misalnya, Krisis pangan global sempat memanas, stok pangan
dunia terus menipis di tahun 2007 dan pada tahun 2008 terjadi kenaikan harga
pangan yang sangat tinggi hingga negara-negara yang bergantung pada impor
kesulitan untuk mendapatkan pangan. Bahkan krisis pangan yang terjadi seperti
di Mesir, Banglades, dan Yaman sampai menyebabkan timbulnya kerusuhan karena
terjadi antrean orang-orang yang membutuhkan makanan.
Dari fenomena tersebut dapat dilihat bahaya dari krisis
pangan pun kemudian menjalar kepada masalah human security. Negara-negara maju
kemudian menemukan solusi dengan melakukan penelitian yang memakan waktu lama
dan kemudian menemukan penemuan baru berupa tanaman pangan transgenik. Yang
dimaksud dengan tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa genetika
dengan upaya pemanfaatan bioteknologi, tanaman yang toleran terhadap herbisida,
resisten terhadap serangga dan virus pada berbagai jenis tanaman seperti kapas,
jagung, kedelai, padi dan pepaya. Adopsi tanaman transgenic yang melaju cepat
dikatakan sebagai salah satu indikasi perkembangan yang baik dari sisi
produktivitas, lingkungan, ekonomi, serta sosial bagi petani kecil, menengah
dan besar. Dengan demikian, tanaman transgenik mengandung gen (pembawa sifat
tanaman) yang berasal dari luar tanaman yang secara sengaja dan terencana
dipindahkan dengan teknologi canggih. Tanaman transgenik ini telah terbukti
menghasilkan tanaman baru yang lebih baik, sehingga dianggap dapat memperbaiki
tingkat produksi pangan di negara-negara yang mengalami krisis pangan. Pada
tahun 2015 diperkirakan ada sekitar 40 negara yang akan mengadopsi sistem
tanaman transgenic ini.
Fenomena di atas dipandang sebagai isu deterministik yang
penuh dengan kepentingan AS. Selanjutnya berdasarkan bagan Back Bone Fish
Scheme dalam menganalisis isu yang digunakan oleh AS yakni yang pertama adalah
isu krisis pangan (Food Crissis)yang melanda negara-negara terutama negara
berkembang. Isu krisis pangan tersebut dinilai jika tidak ditangani,
dikhawatirkan dampaknya akan juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan global
(Food Security). Di sisi lain dengan fakta krisis pangan yang mengakibatkan
tingkat kelaparan yang sangat tinggi, dan krisis pangan yang terjadi di negara-negara
timur tengah hingga menyebabkan kerusuhan.
Fenomena tersebut juga berpengaruh kepada isu Human
Security. Maka dari itu AS dengan produk pangan transgeniknya beralasan untuk
mencanangkan alih teknologi kepada negara-negara lain sehingga dapat memperbaiki
tingkat produksinya. Proses selanjutnya adalah Means atau cara-cara dalam hal
ini merupakan bentuk state action yang dilakukan AS melalui
instrumen-instrumen. Melalui FAO Amerika memprediksikan negara-negara yang
mengalami krisis pangan kebanyakan adalah negara-negara berkembang, di mana
negara-negara tersebut merupakan pasar yang bagus untuk produk transgeniknya.
Instrumen selanjutnya adalah melalui WTO, kebijakan-kebijakan WTO terkait
perdagangan bebas seluruhnya tentu saja terdapat pengaruh dari AS.
Gagasan-gagasan liberalisasi perdagangan secara tidak langsung juga digunakan
untuk mempromosikan ideologi liberal barat.
Dalam hal ini Goals dari AS adalah mempertahankan sistem
Internasional yakni berlakunya sistem perdagangan bebas antar negara dengan
aturan-aturan yang berlaku. Tentunya aturan-aturan tersebut diatur sedemikian
rupa sehingga tetap tercipta suatu ketergantungan negara-negara berkembang
terhadap negara maju. Tujuan dari kepentingan AS pun kemudian sudah dapat
dilihat dengan jelas di sini yakni kepentingan Economic Gain. Kepentingan
ekonomi yakni dalam meningkatkan nilai ekspor bahan pangan transgenik dan juga
memperluas pasar yang didukung oleh sistem perdagangan bebas yang diatur dalam
WTO kepada negara-negara berkembang. Indonesia misalnya, sebagai negara
berkembang dan menjadi pasar yang bagus bagi produk pangan transgenik AS,
berdasarkan Laporan United States Department of Agriculture (USDA) menyebutkan,
nilai ekspor produk transgenik Amerika ke Indonesia pada tahun 2004,yang terdiri
atas kedelai, jagung, dan kapas mencapai US$ 600 juta. Fakta tersebut
menerangkan akan kepentingan AS yang sebenarnya, yakni demi kepentingan ekonomi
dalam meningkatkan ekspor bahan pangan transgeniknya ke negara-negara
berkembang yang telah terikat dan menerima tekanan dari aturan-aturan WTO dalam
perdagangan bebas.
Terkait dengan adanya ancaman krisis pangan dunia, telah
digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
yang bertema Food Security and the Challenges of Climate Change and Bioenergy
di Roma, Italia, 3–5 Juni 2008. KTT FAO ini merupakan inisiatif bersama
PBB,FAO, IFAD, dan WFP atas krisis pangan dunia. Beberapa pemimpin negara maju
dan berkembang menghadiri KTT tersebut. Delegasi Indonesia diwakili Menteri Pertanian
Anton Apriyantono. Beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) juga turut diundang.
Sejumlah organisasi non pemerintah yang hadir dan mengikuti pertemuan FAO
menyatakan tidak dapat menerima kesimpulan KTT karena dinilai tidak berhasil
menemukan solusi atas krisis pangan.
Kelangkaan bahan pokok pangan dan meningkatnya harga
pangan di seluruh dunia telah mendorong reaksi berupa resistensi atas proyek
konversi produk pertanian menjadi bahan bakar yang ternyata membuat lebih dari
100 juta orang kelaparan. Kenyataannya, di banyak negara,penduduk mulai
meninggalkan lahan pertanian mereka dan kemudian beralih menanamkan tanaman
pangan yang termasuk energi alternatif terbarukan seperti kelapa sawit, jarak
pagar (jatropha curcas).
Ada dua permasalahan utama yang harus di atasi terhadap
krisis pangan ini, yang pertama adalah masalah jangka pendek yaitu melonjaknya
harga pangan (jagung, gandum dan kedelai) di pasar dunia. Masalah ini berdampak
pada penduduk miskin dan semua negara yang mengandalkan pada impor pangan, yang
kedua adalah masalah jangka panjang yaitu cara dunia memproduksi,
memperdagangkan dan mengonsumsi pangan di tengah terus meningkatnya permintaan,
populasi dan perubahan iklim.
Isu tentang krisis pangan dunia akhir-akhir ini telah
mencemaskan banyak pihak, termasuk lembaga-lembaga dunia seperti FAO, IMF, dan
Bank Dunia. Di beberapa negara, kondisi ini bahkan telah munculkan krisis
sosial. Di Haiti, misalnya, diberitakan lima orang setidaknya telah tewas dalam
aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung
dengan bentrokan. Fenomena ini, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula di
negara-negara lain, khususnya negara berkembang, seperti Ethiopia, Mesir,
Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Madagaskar, Filipinan, dan Indonesia.
Jadi, krisis pangan saat ini secara fundamental tidak
disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan yang dipengaruhi oleh lima faktor
di atas, akan tetapi lebih disebabkan oleh distribusi yang buruk dari sistem
kapitalis. Distribusi yang buruk itulah yang menjadikan sebagian masyarakat
tidak mampu, tidak mendapatkan hak untuk makan. Karena itu wajar jika fenomena
krisis pangan ini tidak hanya terjadi di negara yang mengalami kelangkaan bahan
pangan saja, akan tetapi juga terjadi di negara yang bahan pangannya cukup. Di
Indonesia, misalnya, pemerintah sudah berencana untuk mengekspor beras, jika
stok beras mencapai 3 juta ton. Apakah ini berarti sudah tidak ada lagi rakyat
Indonesia yang kelaparan? Fakta menunjukkan bahwa di berbagai daerah di
Indonesia masih banyak dijumpai masyarakat yang tidak makan, meskipun hanya
satu kali sehari, bahkan ada yang hingga mati kelaparan. Tampak di sini bahwa
pemerintah lebih memilih mengekspor beras ke luar negeri karena harganya yang
tinggi, daripada menjual beras murah atau membagikan secara gratis kepada
rakyatnya sendiri. Ini lagi-lagi membuktikan betapa buruknya sistem kapitalis,
di mana harga dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi barang di
tengah masyarakat.
Semestinya, harga tidak dijadikan sebagai pengendali
distribusi barang, apalagi barang kebutuhan pokok seperti bahan pangan. Sebab,
barang kebutuhan pokok merupakan barang keperluan mendasar yang diperlukan oleh
masyarakat individu per individu. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok
bagi seseorang tidak bisa diwakili oleh orang lain. Jika harga dijadikan
sebagai pengendali distribusi, niscaya akan senantiasa ada orang-orang yang
tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini sangat
berbahaya dan merupakan kezaliman. Karena itulah, dalam hal kebutuhan pokok,
Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan pemenuhan atas rakyatnya.
Caranya, rakyat didorong untuk bekerja dan diberi kesempatan untuk bekerja
dengan membuka lapangan pekerjaan. Jika dengan cara ini masih dijumpai
orang-orang yang tidak mampu, misalnya karena cacat atau lanjut usia, dan tidak
ada anggota keluarga yang sanggup menopang kebutuhannya, maka negara wajib
turun tangan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Krisis pangan berarti tantangan dan kesempatan untuk
memperbaiki masa depan kehidupan petani Indonesia. Diversifikasi pangan,
penghargaan terhadap pangan lokal, perlindungan petani, konservasi
keanekaragaman hayati pertanian, pertanian berkelanjutan, dan reformasi agraria
hanya menjadi sesuatu yang enak untuk didengar tetapi tidak pernah untuk
dilaksanakan. Jepang baru-baru ini mengeluarkan program mengganti tepung gandum
dengan tepung umbi sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kedaulatan
pangan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Krisis pangan yang sedang melanda dunia mengakibatkan
ratusan juta orang mengalami kesusahan pangan dan bahan bakar. Negara-negara
berkembang mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh mahal dan langkanya
harga pangan serta tidak bisa mencukupi pasokan energi dalam negeri. Faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis pangan diantaranya adalah
penduduk dunia yang kian bertambah, cuaca ekstrem, pembatasan ekspor, dan trend energi alternatif
biofuel. Selain itu kebijakan pemerintah serta tidak seimbangnya Supply dan Demand
juga menjadi faktor utama terjadinya krisis pangan.
3.2. Saran
Untuk mengantisipasi krisis energi dan pangan ini tidak
bertambah parah dan semakin menyengsarakan masyarakat dunia, maka masing-masing
penguasa atau pemerintah di setiap negara harus menciptakan sebuah kebijakan
energi dan pangan yang membawa perubahan bagi rakyatnya.
Selain itu, untuk mengatasi krisis pangan, pemerintah
harus fokus mengembangkan pertanian naisonal. Pemerintah harus mengutamakan
suplai pangan nasional. Seiap warga juga harus berani untuk melakukan gerakan
hemat energi.
DAFTAR PUSTAKA
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/09/25/ancaman-krisis-pangan-592901.html
diniiarr.blogspot.co.id/2014/04/krisis-pangan-di-indonesia.html
http://munabarakati.blogspot.co.id/2015/08/makalah-krisis-pangan-dan-energi.html