Indonesia Negara yang kaya akan sumber daya alam nya yang memberikan
banyak potensi kemajuan di berbagai bidang terutama bidang perekonomian. Luasnya
hamparan hutan yang menutupi lahan di permukaan Indonesia menjadi penyeimbang
dan pemenuhan kebutuhan hidup setiap manusia Indonesia. Akan tetapi, ironisnya
bangsa kita. Kekayaan alam yang ada tak dimanfaatkan dengan baik karena adanya
disintegrasi antara kebijakan-kebijakan pemerintah dengan pelaksanaannya.
Bahkan terdapat tanda tanya besar terhadap aturan yang selama ini dirasa lebih
menguntungkan Negara-negara asing dalam mengeksploitasi hutan kita, namun
dibiarkan begitu saja oleh pemerintah dan tidak disoroti lebih lanjut.
Di Indonesia telah terjadi penurunan penutupan hutan
secara nyata selama 30 tahun terakhir, yaitu dari 60% pada tahun 1970 menjadi
12% pada tahun 2000 (Verbist, dkk., 2009). Sementara itu berdasarkan kajian
terakhir yang juga dipublikasikan dalam jurnal Science menyebutkan bahwa
sepanjang 2001-2013 Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektare hutan.
Berdasarkan data FAO, Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar di dunia
dengan laju kerusakan dua persen atau 1,87 juta hektare per tahun yang berarti
setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51 kilometer persegi. WWF dan
Greenpeace menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia
dengan rekor 1,6 juta hektare per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatra.[i]
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “ Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” pada pelaksanaannya
hanya menjadi sebuah tulisan yang tak di indahkan. Tumpang tindih antar
peraturan di Indonesia sudah biasa terjadi. Hal inilah yang seharusnya
diperbaiki. Beberapa minggu yang lalu Perusahaan Kelapa Sawit Malaysia
merencanakan akan melakukan penebangan hutan di Kalimantan yang akan dialih
fungsikan lahan. Perusahaan ini telah lama menjadi salah satu perusahaan yang
selalu menyebabkan terjadinya bencana asap kabut di Indonesia. Yang
dipertanyakan adalah dimana sebenernya adanya posisi penegakan hukum Indonesia
berada? Bagaimana bisa perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi Indonesia ini
lolos dari uji kelayakan lingkungan dan berbagai izin dari pemerintah terutama
dari kementrian kehutanan. Beberapa komunitas di Indonesia, salah satunya
komunitas green peace Indonesia berusaha menyuarakan stop rusak hutan Indonesia
di web nya dengan menawarkan dan menyebarkan petisi untuk penolakan adanya
perluasan lahan kelapa sawit dengan penebangan hutan secara besar-besaran oleh
perusahaan tersebut.
Sampai saat ini,
konservasi masih menjadi satu-satunya alternative yang selalu di
gembor-gemborkan dan digalakkan. Mudah dalam pelaksanaannya namun, sering kali
manusia Indonesia melupakan perawatan yang harus diberikan untuk menyukseskan
progam tersebut. Hutan di eksploitasi secara besar-besaran mencakup wilayah
yang sangat luas dengan cara efisien dan dalam waktu singkat, sedangkan progam
restorasinya berjalan begitu lambat. Karena untuk mengganti hutan-hutan tersebut,
juga dipengaruhi faktor-faktor alam seperti kondisi meteorologi dan klimatologi
yang mendukung. Peraturan daerah yang
dijunjung tinggi dengan syarat tidak menyimpang dari kepentingan nasional
sering kali di manfaatkan oleh pemerintah-pemerintah di daerah untuk memburu
keuntungan dari sumber daya alam yang ada tanpa tau arah dana itu kemana.
Konservasi juga turut
digalakkan dalam kehidupan perkuliahan di berbagai universitas di Indonesia,
bahkan ada beberapa diantaranya telah di deklarasikan sebagai kampus konservasi
salah satunya adalah Universitas Negeri Semarang. Namun, dari waktu ke waktu
wacana mengenai kampus konservasi ini patut di pertanyakan keberlanjutannya.
Dalam diskusi kajian Tjahaja Kampus Merah pada tanggal 2 November 2016 lalu yang
mengundang pembicara dari Badan Pengembangan Konservasi (BANGVASI) Universitas
Negeri Semarang banyak menampung pertanyaan mengenai kabar kawasan hutan mini
UNNES yang telah dibabat karena adanya pembangunan. Menurut Bapak Drs.
Kusmuriyanto, M.Si selaku Ketua BANGVASI UNNES mengatakan bahwa dengan adanya
pembangunan tersebut dari pihak BANGVASI menganjurkan dan menyarankan bahwa
setiap 1 pohon yang di tebang harus diganti dengan 5 pohon yang harus ditanam
sebagai bentuk tanggung jawab.
Dari hasil diskusi tersebut, menyatakan sikap dalam bentuk poin-poin :
1. Menolak segala bentuk eksploitasi hutan Indonesia yang tidak
menguntungkan bagi kemakmuran Negara dan tidak berwawasan lingkungan untuk
keberkanjutannya di masa yang akan datang. Sikap ini untuk meminimalisir adanya
kepentingan-kepentingan yang hanya menguntungkan individu atau kelompok
tertentu saja.
2.
Memohon bantuan kepada setiap lapisan masyarakat ataupun
mahasiswa untuk ikut menyuarakan suara penolakan kepada perusahaan asing yang
kembali berusaha untuk mengeksploitasi hutan Indonesia besar-besaran tanpa
mempertimbangkan kesejahteraan dan permasalahan yang akan terjadi dalam
masyarakat dengan ikut serta dalam mengisi petisi pada :
action/action?ea.client.id=1827&ea.campaign.id=56276&ea.tracking.id=facebook
3.
Menuntut adanya kejelasan terhadap keberlanjutan dan tanggung
jawab terhadap kasus kawasan hutan mini Universitas Negeri Semarang. Hal ini
untuk menjunjung tinggi progam konservasi yang telah dilakukan selama ini dan
mencegah adanya segala kepentingan. Pihak UNNES harus segera menetukan langkah
konkret dalam permasalahan ini dengan mempertimbangkan segala faktor
pengaruhnya sehingga menghasilkan perencanaan ruang yang matang dan tepat.
4.
Menuntut untuk menegaskan kembali wacana konservasi dengan
implementasi yang nyata di lapangan dan bukan ajang untuk mencapai nama baik
namun mengutamakan kemslahatan bersama dengan membawa dampak baik ke masyarakat
karena dijadikan sebagai panutan.
[i] Affandi, Oding. Kebijakan Alih Fungsi Hutan : Suatu Analisis
Etika Lingkungan dan Kehutanan hal 1-5. Bandung : IPB.