A.
Sejarah
Pemerintahan Daerah di Indonesia
Pemerintahan
Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad
lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke
waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada
tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini. Pembagian
tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur
pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki
bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan
melalui undang-undang.
a. Periode
I (1945-1948)
Pada
periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan
Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh
PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI
dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan
pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI
hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan
kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh
PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi.
Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing
provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen.
Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite
Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan
menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya
sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.
Tingkatan wilayah
|
Nomenklatur
yang digunakan
|
Tingkatan Atas
|
Provinsi
|
Tingkatan Bawah
|
Karesidenan
|
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping
adanya provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan
Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap
diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada
tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende
Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan
pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan
Komisaris.
Tingkatan selengkapnya yang ada
pada masa itu adalah:
1. Provinsi
(warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)
2. Karesidenan
(disebut Syu oleh Jepang)
3. Kabupaten/Kota
(disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia Belanda disebut
Regentschap/ Gemeente/ Stadsgemeente)
4. Kawedanan
(disebut Gun oleh Jepang)
5. Kecamatan
(disebut Son oleh Jepang)
6. Desa
(disebut Ku oleh Jepang)
Otonomi
bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya
ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan
Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta
dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite
Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan
dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan
Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk
dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya
Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari
wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu pula dengan
daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian
timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan
Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.
b. Periode
II (1948-1957)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan
pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis
daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang
disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur
"Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan
zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum
Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya.
Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur
yang berbeda-beda yaitu :
Tingkatan
Daerah Otonom
|
Nomenklatur
Daerah Otonom Biasa
|
Nomenklatur
Daerah Otonom Khusus
|
Tingkat I
|
Provinsi
|
Daerah
Istimewa Setingkat Provinsi
|
Tingkat II
|
Kabupaten/Kota
Besar
|
Daerah
Istimewa Setingkat Kabupaten
|
Tingkat III
|
Desa,
Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil
|
Daerah
Istimewa Setingkat Desa
|
Undang-undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah
Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari :
1. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih
dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan
Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU
pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh
dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.
2. Eksekutif
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPD
menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD secara bersama-sama atau
masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi
keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD
dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa
jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah
anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan.
Kepala Daerah menjadi ketua dan
anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum:
1.
Kepala Daerah Provinsi
diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.
2.
Kepala Daerah
Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang
diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.
3.
Kepala Daerah Desa,
Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi
dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota
Kecil.
4.
Kepala Daerah dapat
diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan.
5.
Kepala Daerah Istimewa
diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada
zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa
dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat
yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah
anggota DPD.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948
disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini
mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa
yaitu:
a.
Wilayah Sumatera
meliputi : Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.
b.
Wilayah Jawa meliputi :
Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat
(daerah Mataraman).
Setelah
pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950, UU ini berlaku untuk daerah
seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan pada
daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi,
wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun
1950.
c. Periode
III (1957-1965)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan
UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah
berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah
otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah
berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda
yaitu:
Tingkatan
|
Nomenklatur
Daerah Otonom Biasa
|
Nomenklatur
Daerah Otonom Khusus
|
Tingkat
I
|
Daerah
Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja Jakarta Raya
|
Daerah
Istimewa Tingkat ke I
|
Tingkat
II
|
Daerah
Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja
|
Daerah
Istimewa Tingkat ke II
|
Tingkat
III
|
Daerah
Swatantra Tingkat ke III
|
Daerah
Istimewa Tingkat ke III
|
Kecuali
Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja
tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.
Selain
dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini
merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda dan
Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan
Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah
Swatantra.
Undang-undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah
Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari :
1. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali
ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan
undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa
jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun
tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar
perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh
dan dari anggota DPRD.
2. Eksekutif
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Pimpinan
sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan
keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya secara
bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi
keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD
dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan
anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar
waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang
ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang
bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD.
Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.
Kepala
Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih
oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala
Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk
olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala Daerah
dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar waktu
guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut.
Kepala Daerah Istimewa diangkat
dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di
daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan
diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau
Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa
tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah
Istimewa dengan tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil
Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua
serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III pasal 131,
132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami
perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketatanegaraan
Republik IV[.
Penyesuaian
pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959.
Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:
1. Eksekutif
Kepala Daerah dengan dibantu Badan
Pemerintah Harian (BPH)
2. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kepala
Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I dan
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat
tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD
maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama
seperti masa jabatan DPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya
tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.
Kepala
Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan
pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat
tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa
dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan
Kepala Daerah Istimewa.
d. Periode
IV (1965-1974)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957,
Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960;
Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965.
Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi.
Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Tingkatan
|
Nomenklatur
Daerah Otonom
|
Tingkat
I
|
Provinsi/Kotaraya
|
Tingkat
II
|
Kabupaten/Kotamadya
|
Tingkat
III
|
Kecamatan/Kotapraja
|
Daerah-daerah yang memiliki otonomi
khusus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara
sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk
mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan
Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan
Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia
yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
Undang-undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah
Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari:
1. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar
perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun.
Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun
tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU
tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil
Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya
mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.
2. Eksekutif
Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala
Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, serta Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara.
Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam
pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik
pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri
menurut hirarki yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota
BPH diangkat dan diberhentikan oleh
a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II,
dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi
Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat
Anggota BPH bagi masing-masing
tingkatan daerah adalah :
a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.
b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.
e. Periode
V (1974-1999)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia
dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi
dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Daerah Otonom
Tingkatan
|
Nomenklatur Daerah
Otonom
|
Tingkat
I
|
Daerah
Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus Ibukota/Daerah Istimewa
|
Tingkat
II
|
Daerah
Tingkat II (Dati II)
|
Wilayah
Administrasi
Tingkatan
|
Nomenklatur Wilayah
Administratif
|
Tingkat I
|
Provinsi/Ibukota
Negara
|
Tingkat II
|
Kabupaten/Kotamadya
|
Tingkat IIa
|
Kota Administratif
|
Tingkat III
|
Kecamatan
|
Nama
dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi
atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi.
Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah
Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah
Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom disatukan.
1. Untuk
Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi
Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
2. Untuk
Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta
disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3. Untuk
Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi
Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk
Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Untuk
Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten
Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar.
5. Untuk
Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya
Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pakanbaru.
Undang-undang menentukan bahwa
pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah".
Pemerintahan lokal terdiri dari :
1. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat
Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan
DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan
jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.
2. Eksekutif
Kepala Daerah. Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala
Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal
pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I
dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden.
Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan
persetujuan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat
Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai
Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi
persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk
Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai
wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena
jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala
Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau
Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena
jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah
Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau
Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.
Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala
Daerah disatukan.
1. Untuk
Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
2. Untuk
Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebut Gubernur
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3. Untuk
Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala Daerah
Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI
Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Untuk
Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala Daerah Tingkat
II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Barito Selatan.
5. Untuk
Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palangkaraya.
f. Periode
VI (1999-2004)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah
otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh,
Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga
jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota.
Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki
daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Undang-undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan
Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah
Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan lokal terdiri dari:
1. Badan
Legislatif Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan,
pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
2. Badan
Eksekutif Daerah
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas
Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.
Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
bertindak atas nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur,
yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada
DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota
disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah,
Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
g. Periode
VII (mulai 2004)
Pada
periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini
Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara
mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu
Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan.
Tingkatan
|
Nomenklatur Daerah
Otonom
|
Tingkat
I
|
Provinsi
|
Tingkat
II
|
Kabupaten/Kota
|
Undang-undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah
Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari :
1. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Eksekutif
Pemerintah Daerah, yang terdiri
atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.
B.
Pengertian
Pemerintahan Daerah
Definisi Pemerintahan Daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai
berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan demikian, yang dimaksud
pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah
(provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
C.
Fungsi dan Tujuan dibentuknya
Pemerintahan Daerah
Berbagai argument dan penjelasan
mengenai fungsi Pemerintah Daerah
yaitu :
1. Untuk terciptanya
efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi
mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan
masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan
dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah
diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa,
dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka
sarana membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
Banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah
merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam
sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to
leberty what primary schools are to science; the bring it within the people
reach, they teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam
tulisannya “Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan daerah
akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik,
baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan
politik.
3. Pemerintahan daerah sebagai
persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak
kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan
langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik
dan pemerintahan ditingkat nasional.
4. Stabilitas politik, Sharpe
berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari
stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya
pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari
PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta
yang sangat dominan.
5. Kesetaraan politik (political
equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik
diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6. Akuntabilitas publik. Demokrasi
memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk
berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
Tujuan dari Pemerintah Daerah
adalah:
·
mencegah pemusatan keuangan
·
sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk
mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
·
Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi
pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
Pentingnya dibentuk Pemerintah
Daerah ialah:
·
Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat
di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan
·
Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata
·
Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu
daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah
berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban
dan bahkan terbengkalai.
D.
Azas-azas
Pemerintahan Daerah
Pemerintahan
Daerah diatur dalam UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah. Adapun
azas-azas yang diatur dalm UU tersebut yaitu azas Desentralisasi, azas
Dekonsentralisasi dan azas tugas pembantuan.
1.
Desentralisasi
Desentralisasi yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan desentralisasi
yaitu melalui tujuan politik dan
tujuan administratif.
a. Tujuan
politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai medium pendidikan politik
bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan
berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai
terwujudnya civil society.
b. Tujuan
administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di
tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara
efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan
publik.
Kebijakan
desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004
tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan provinsi dan daerah
kita bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi
diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagian dan
kabupaten atau kota setara dengan tingkatan ke dua. Selain itu, UU No. 32 Tahun
2004 juga mengatur distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan
tingkatan ketiga. Namun dalam hal pelaksanaannya, distribusi fungsi pada
pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan bergantung pada daerah
kabupaten atau kota.
2.
Dekonsentrasi
Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dengan begitu sesuai UU pemerintahan daerah, Gubernur memiliki kedudukan
yang rangkap yaitu menjadi kepala daerah otonom yang merupakan pejabat daerah
sekaligus sebagai kepala wilayah yang merupakan pejabat pusat yang ditempatkan
di daerah.
3.
Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan yaitu
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah propinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tugas pembantuan
merupakan tugas untuk membantu meneyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional. Kewenangan yang dapat
dilimpahkan melalui tugas pembantuan adalah kewenangan bersifat atributif dan bukan kewenangan delegatif. Berkenaan dengan tugas
pembantuan, kebijakan, strategi pembiayaan sarana dan prasarana disediakan ole
lembaga yang menugaskannya, sedangkan kegiatan operasional diserahkan kepada
institusi yang mendapatkan tugas sesuai dengan situasi dn kondisi yang ada
padanya. Institusi yang mendapatkan penugasan wajib melapor dan
mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan tugas.
E.
Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan
Daerah
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintahan
Daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak daerah tersebut
menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah antara lain :
1. Mengatur dan mengurusi sendiri
urusan pemerintahannya
2. Memilih pemimpin daerah
3. Mengelola aparatur daerah
4. Mengelola kekayan daerah
5. Memungut pajak daerah dan retribusi
daerah
6. Mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan
lain yang sah
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan
Disamping hak-hak tersebut di atas,
daerah juga diberi beberapa kewajiban, yaitu:
1.
Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2.
Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3.
Mengembangkan kehidupan demokrasi
4.
Mewujudkan keadilan dan pemerataan
5.
Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6.
Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
7.
Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
8.
Mengembangkan sistem jaminan social.
9.
Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
10. Mengembangkan sumber daya produktif
di daerah.
11. Melestarikan lingkungan hidup.
12. Mengelola administrasi kependudukan.
13. Melestarikan nilai sosial budaya.
14. Membentuk dan menerapkan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan
Hak dan kewajiban daerah tersebut
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam
bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di
atas, pengelolaan keuangan dilakukan secara efisien, transparan,
bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada peraturan
perundang-undangan ( Rozali Abdullah, 2007 : 27-30).
Dengan demikian
pemerintah daerah harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah agar
penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik.
F.
Macam-macam Urusan Pemerintahan
Daerah
Melalui sistem pemerintahan daerah,
pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
yang diserahkan kepadanya. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi yang merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :
a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan
alokasi sumber daya manusia potensial
g. penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
lintas kabupaten/kota
i. fasilitasi pengembangan koperasi,
usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota
l. pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman
modal termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p. urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Urusan
pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/ kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi :
a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. fasilitasi pengembangan koperasi,
usaha kecil dan menengah
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman
modal
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
p. urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Urusan
pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan dapat memenuhi semua
urusan yang menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten) agar
dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud.
G.
Implementasi Pemerintah Daerah di
Indonesia
Pemerintahan
Daerah saat ini telah menjadi dasar penyelenggara pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, mengingat kondisi geografis,
kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktuk sosial dan budaya
lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sejak diberlakukannya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan
dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Dan implementasi dari Pemerintah
Daerah ialah adanya Otonomi Daerah. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di
daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini
menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung
menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai
pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu
untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan
peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi
daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih
mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan
yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi
Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Beberapa
contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah
yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah,
masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan
setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan
yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada
bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat
untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat
nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang
simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol
mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua
contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi
berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain
membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi
Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang
dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar
ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era
otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di
segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah.
Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada
umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam
pelaksanan otonomi daerah:
·
Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi
rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah.
·
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan
dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut
memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan
ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan
retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus
ditanggung warga masyarakat.
·
Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini
dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
·
Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini
disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun
pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya
alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan
lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan
peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana
ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan
punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan
kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air
hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak
terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar
yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka
serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
·
Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik
korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa
daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh
lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
·
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan
sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan
bagi budget mereka.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo
terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua
daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia.
Secara keseluruhan, pelaksanaan
Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum
dapat berjalan dengan optimal. Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah
antara lain disebabkan karena adanya berbagai macam penyelewengan yang
dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di
daera-daerah otonom. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan
pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan
untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut.
Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain
yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Rozali Abdullah. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo.
·
Sunarto.2009.Buku
ajar Hukum Administrasi Negara.Semarang Universitas Negeri Semarang
·
Hadjon M Philulipus,dkk.Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.2002.Yogyakarta:Gajah Mada University Press
·
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah
·
http:// Makalah Implementasi Pemerintah
Daerah di Indonesia.html
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2hwQGjbiI2o7bJaVugt8D7m6bpxCZ1wnOrwTKffeilR-3LJf7XPJDq0dDF0MBDFKsJypxLx0Xpsw6do28GnqKVVsB-1ED7kh7wDJPjan5cp0-ISAvFN0wGGPs93p1m35HLZGEXq0fSI4/s1600/pemerintahan+daerah.jpg