PEMERINTAHAN DAERAH

A.    Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia
            Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini. Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang.
a.       Periode I (1945-1948)
     Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.

Tingkatan wilayah
Nomenklatur yang digunakan

Tingkatan Atas
Provinsi
Tingkatan Bawah
Karesidenan
                                   
     Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris.
Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:
1.    Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)
2.    Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3.    Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/ Gemeente/ Stadsgemeente)
4.    Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5.    Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6.    Desa (disebut Ku oleh Jepang)

Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.

b.      Periode II (1948-1957)
      Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu :
Tingkatan Daerah Otonom
Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah Otonom Khusus
Tingkat I
Provinsi
Daerah Istimewa Setingkat Provinsi
Tingkat II
Kabupaten/Kota Besar
Daerah Istimewa Setingkat Kabupaten
Tingkat III
Desa, Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil
Daerah Istimewa Setingkat Desa

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari :
1.      Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.
2.      Eksekutif
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan.
Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum:
1.        Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.
2.        Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.
3.        Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil.
4.        Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan.
5.        Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota DPD.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:
a.         Wilayah Sumatera meliputi : Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.
b.        Wilayah Jawa meliputi : Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman).
Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950, UU ini berlaku untuk daerah seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950.

c.    Periode III (1957-1965)
        Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah Otonom Khusus
Tingkat I
Daerah Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja Jakarta Raya
Daerah Istimewa Tingkat ke I
Tingkat II
Daerah Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja
Daerah Istimewa Tingkat ke II
Tingkat III
Daerah Swatantra Tingkat ke III
Daerah Istimewa Tingkat ke III

Kecuali Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.
Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda dan Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari :
1.    Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.

2.    Eksekutif 
Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.

        Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
        Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketatanegaraan Republik IV[.
Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:
1.    Eksekutif
Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
2.    Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa jabatan DPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.
        Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa.
       
d.   Periode IV (1965-1974)
        Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I
Provinsi/Kotaraya
Tingkat II
Kabupaten/Kotamadya
Tingkat III
Kecamatan/Kotapraja
           
        Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
        Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari:
1.    Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.
2.    Eksekutif
Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat dan diberhentikan oleh
    a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
    b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II, dan
    c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat
Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah :
    a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.
    b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
    c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

e.    Periode V (1974-1999)
        Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Daerah Otonom
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I
Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus Ibukota/Daerah Istimewa
Tingkat II
Daerah Tingkat II (Dati II)

Wilayah Administrasi
Tingkatan
Nomenklatur Wilayah Administratif
Tingkat I
Provinsi/Ibukota Negara
Tingkat II
Kabupaten/Kotamadya
Tingkat IIa
Kota Administratif
Tingkat III
Kecamatan

        Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom disatukan.
1.    Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
2.    Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3.    Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4.    Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar.
5.    Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pakanbaru.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari :
1.    Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.
2.    Eksekutif
Kepala Daerah.  Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.
Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan.
1.    Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
2.    Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3.    Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
4.    Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Barito Selatan.
5.    Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palangkaraya.

f.     Periode VI (1999-2004)
        Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.

        Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
        Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan lokal terdiri dari:
1.    Badan Legislatif Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
2.    Badan Eksekutif Daerah
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.

g.    Periode VII (mulai 2004)
        Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I
Provinsi
Tingkat II
Kabupaten/Kota

        Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari :
1.    Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.    Eksekutif
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.

B.     Pengertian Pemerintahan Daerah
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan demikian, yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan  urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.

C.    Fungsi dan Tujuan dibentuknya Pemerintahan Daerah
Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah
yaitu :
1.    Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2.    Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to leberty what primary schools are to science; the bring it within the people reach, they teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya “Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.
3.    Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak  kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.
4.    Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5.    Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6.    Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.

Tujuan dari Pemerintah Daerah adalah:
·      mencegah pemusatan keuangan
·      sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
·      Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
Pentingnya dibentuk Pemerintah Daerah ialah:
·      Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan
·      Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata
·      Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.

D.    Azas-azas Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah diatur dalam UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Derah. Adapun azas-azas yang diatur dalm UU tersebut yaitu azas Desentralisasi, azas Dekonsentralisasi dan azas tugas pembantuan.
1.      Desentralisasi
Desentralisasi  yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan desentralisasi yaitu melalui tujuan politik dan tujuan administratif.
a.    Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society.
b.    Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
Kebijakan desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan provinsi dan daerah kita bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagian dan kabupaten atau kota setara dengan tingkatan ke dua. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga. Namun dalam hal pelaksanaannya, distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten atau kota.
2.      Dekonsentrasi
Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dengan begitu sesuai UU pemerintahan daerah, Gubernur memiliki kedudukan yang rangkap yaitu menjadi kepala daerah otonom yang merupakan pejabat daerah sekaligus sebagai kepala wilayah yang merupakan pejabat pusat yang ditempatkan di daerah.
3.      Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tugas pembantuan merupakan tugas untuk membantu meneyelenggarakan urusan pemerintahan dalam tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional. Kewenangan yang dapat dilimpahkan melalui tugas pembantuan adalah kewenangan bersifat atributif dan bukan kewenangan delegatif. Berkenaan dengan tugas pembantuan, kebijakan, strategi pembiayaan sarana dan prasarana disediakan ole lembaga yang menugaskannya, sedangkan kegiatan operasional diserahkan kepada institusi yang mendapatkan tugas sesuai dengan situasi dn kondisi yang ada padanya. Institusi yang mendapatkan penugasan wajib melapor dan mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan tugas.

E.     Hak-hak dan Kewajiban Pemerintahan Daerah
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintahan Daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak daerah tersebut menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah antara lain :
1.    Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya
2.    Memilih pemimpin daerah
3.    Mengelola aparatur daerah
4.    Mengelola kekayan daerah
5.    Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
6.    Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah
7.    Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
8.    Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga diberi beberapa kewajiban, yaitu:
1.        Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2.        Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3.        Mengembangkan kehidupan demokrasi
4.        Mewujudkan keadilan dan pemerataan
5.        Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6.        Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
7.        Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
8.        Mengembangkan sistem jaminan social.
9.        Menyusun perencanaan dan  tata ruang daerah.
10.    Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
11.    Melestarikan lingkungan hidup.
12.    Mengelola administrasi kependudukan.
13.    Melestarikan nilai sosial budaya.
14.    Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan  kewenangannya.
15.    Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan keuangan dilakukan secara efisien, transparan, bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada peraturan perundang-undangan ( Rozali Abdullah, 2007 : 27-30).
Dengan demikian pemerintah daerah harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah agar penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik.

F.     Macam-macam Urusan Pemerintahan Daerah
Melalui sistem pemerintahan daerah, pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang diserahkan kepadanya. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi yang merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :   
a.    perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.    perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d.   penyediaan sarana dan prasarana umum
e.    penanganan bidang kesehatan
f.     penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g.    penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h.    pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.      fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j.      pengendalian lingkungan hidup
k.    pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l.      pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.    pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o.    penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.    urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
            Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
            Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/ kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi :
a.    perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.    perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d.   penyediaan sarana dan prasarana umum
e.    penanganan bidang kesehatan
f.     penyelenggaraan pendidikan
g.    penanggulangan masalah sosial
h.    pelayanan bidang ketenagakerjaan
i.      fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j.      pengendalian lingkungan hidup
k.    pelayanan pertanahan
l.      pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m.  pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.    pelayanan administrasi penanaman modal
o.    penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
p.    urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
            Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan dapat memenuhi semua urusan yang menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten) agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

G.    Implementasi Pemerintah Daerah di Indonesia
            Pemerintahan Daerah saat ini telah menjadi dasar penyelenggara pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktuk sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Dan implementasi dari Pemerintah Daerah ialah adanya Otonomi Daerah. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
            Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1.    Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2.    Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
            Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
            Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
·      Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah.
·      Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
·      Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
·      Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
·      Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
·      Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
            Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal. Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

·         Rozali Abdullah. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo.
·         Sunarto.2009.Buku ajar Hukum Administrasi Negara.Semarang Universitas Negeri Semarang
·         Hadjon M Philulipus,dkk.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.2002.Yogyakarta:Gajah Mada University Press
·         Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
·         http:// Makalah Implementasi Pemerintah Daerah di Indonesia.html
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2hwQGjbiI2o7bJaVugt8D7m6bpxCZ1wnOrwTKffeilR-3LJf7XPJDq0dDF0MBDFKsJypxLx0Xpsw6do28GnqKVVsB-1ED7kh7wDJPjan5cp0-ISAvFN0wGGPs93p1m35HLZGEXq0fSI4/s1600/pemerintahan+daerah.jpg


Share this

Previous
Next Post »