BAGIAN KETIGA
ILMU PENGETAHUAN DAN MASYARAKAT
BAB IX Ilmu Pengetahuan dan Life world
1.
Permasalahan
C.P. Snow dalam
bukunya The Two Cultures, kita boleh
membuat pembedaan yang cukup tegas antara dunia ilmu pengetahuan dan life world. Dunia ilmu pengetahuan
adalah fakta, sedangkan life world
mencakup pengalaman subjektif praktis manusia ketia ia lahir, hidup dan mati,
pengalaman cinta dan kebencian, harapan dan putus asa, penderitaan dan
kegembiraan, kebodohan dan kebijaksanaan. Ilmu pengetahuan menawarkan cara
kerja rasional. Prinsip kausalitas misalnya menjadi prinsip rasional dari ilmu
pengetahuan. Sementara itu kita juga tidak bisa melepaskan diri dari dunia
sehari-hari dan tradisi dengan segala macam bentuk kepercayaannya dan prakteknya.
Dampak ilmu pengetahuan terhadap life
world masyarakat dapat diklasifikasi kedalam dua kategori. Yang pertama
dampak intelektual langsung, terutama perubahan cara pandang tradisional
terhadap realitas, dan yang kedua dampak tidak langsung, melalui mediasi
teknik-teknik ilmiah, terutama teknik-teknik produksi dan organisasi sosial.
2.
Dampak
Intelektual
Satu
per satu gejala-gejala alam diterangkan dengan ilmu pengetahuan. Gejala alam
pertama yang melepaskan diri dari cengkraman takhayul dan diterangkan dengan
ilmu pengetahuan adalah gerhana (Thukydides). Maka sebagai sistem berpikir
rasional, ilmu pengetahuan menjadi sebab terdalam dari lenyapnya banyak
kepercayaan tradisional. Secara umum, dapat dikatakan 4 hal baru dari ilmu
pengetahuan yang menyebabkan lenyapnya kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Yang
pertama, pengamatan lawan otoritas. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada
kemandirian dalam berpikir berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala alam
atau sosial. Munculnya Protestanisme di Eropa dapat dilihat sebagai contoh dari
sikap untuk tidak percaya begitu saja pada otoritas. Motif ini merupakan motif
terdalam dari para ilmuwan. Ilmu pengetahuan menuntut agar orang tidak mudah
percaya begitu saja pada tradisi atau otoritas tetapi percaya pada pengamatan
dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua,
otonomi dunia fisik. Selain percaya pada pengamatan sendiri, ilmu pengetahuan
juga berangkat dari suatu filosofi tentang alam sebagai sesuatu yang otonom,
yang memiliki hukumnya sendiri. Dunia fisik mengikuti hukum-hukum fisika, tidak
ada pengaruh roh-roh halus.peranan dewa-dewi sebagaimana dianut oleh banyak agama tradisional lenyap dengan
sendirinya juika ilmu pengetahuan diterima secara konsekuen.
Ketiga,
disingkirkannya konsep tujuan. Lain dari agama ilmu pengetahuan hanya mengenal
sebab efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa lampau lebih
penting dari masa depan sebab final tidak diberi tempat dalam pandangan ilmiah
tentang dunia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan lebih memperhatikan konsep
kausalitas dibandingkan konsep finalitas.
Keempat,
tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi, tampaknya ilmu pengetahuan
merendahkan manusia. Lain dari gambaran yang diberikan oleh agama-agama yang
menempatkan bumi dan manusia sebagai pusat dari alam semesta, ilmu pengetahuan
justru tidak segan-segan menjelaskan bahwa manusia tidak banyak artinya dalam
seluruh alam semesta. Namun dari segi praktis, ilmu pengetahuan dapat
mengangkat manusia justru karena dengan ilmu pengetahuan manusia dapat berbuat
banyak. Manusia tampak menjadi lebih berkuasa, dan memang ilmu pengetahuan
telah meningkatkan kesadaran akan kekuasaan.
3.
Dampak
Sosial Praktis
Ilmu
pengetahuan memungkinkan kita melakukan berbagai hal. Suatu teori ilmiah di
satu sisi dapat menjadi suatu Theory of
Knowledge (Teori Pengetahuan), di sisi lain menjadi Theory of Action (Teori Tindakan). Bagaimana ilmu pengetahuan
menjadi teori tindakan? Selain melalui teknik-teknik ilmiah yang digunakan
dalam konteks interaksi komunitas manusia. Manfaat ilmu pengetahuan bagi
kemajuan umat manusia seperti mengurangi hal-hal buruk, seperti
penghapusankemiskinan dan jam kerja yang berlebihan. Dalam konteks yang sama
kita juga dapat berbicara tentang manfaat ilmu pengetahuan dalam memperbesar
kekuasaan manusia.
Maka
teori-teori ilmiah, melalui teknik, dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk
memperbesar kekuasaan manusia atas alam dan atas mmasyarakat. Kekuatan-kekuatan
teknik ilmiah itu menjadi nyata ketika dikembangkan dalam interaksi komunitas
manusia. Tetapi kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak
sama dengan kemampuan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan dari
orang-orang yang dididik dengan ilmu penegetahuan dan teknologi.
Kita
dapat menyimpulkan bahwa teknologi tidak dengan sendirinya menghasilkan suatu
masyarakat yang enlightened.
Teknologi hanya memperbesar kontrol kita atas alam, atas masyarakat, dan atas
diri kita sendiri. Dengan demokian adanya bahaya bahwa teknologi justru mrlayani
nafsu akan kekuasaan atau keinginan irasional untuk mendominasi. Seperti
dikatakan oleh Jurgen Hubermas, nafsu ini hanya dapat diatasi dengan
mengembangkan suatu proses pengembilan keputusan berdasarkan diskusi yang bebas
dari pelbagai macam bentuk dominasi.
4.
Watak
Intelektual
Setiap
orang mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan masyarakat ilmiah pada umumnya,
yaiut taat pada rasio. Inilah watak intelektual nomor satu dan satu-satunya.
Ciri-cirinya dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, adanya keinginan untuk
mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan untuk menyetujui ilusi-ilusi yang
menyenangkan. Setiap orang harus memiliki keingintahuan untuk memahami
fakta-fakta penting bagi kehidupan manusia dan siap membuka diri bagi
kebenaran-kebenaran penting lainnya. Berkaitan dengan itu, sikap ilmiah yang
lain adalah menjunjung tinggi keterbukaan. Seorang ilmuwan harus membuka diri
pada fakta-fakta baru dan mencoba berusaha memahaminya demi kebahagiaan umat
manusia.
Sehubungan
dengan kalimat terakhir ini, perlu ditegaskan bahwa ada hubungan yang sangat
erat antara cinta dan kejujuran ilmiah. Mencintai demi kebahagiaan umat manusia
merupakan sikapilmiah yang otentik. Namun ilmuwan tahu bahwa ia tidak dapat
mengumbar perasaan tanpa mencari jalan untuk memecahkan masalah penderitaan.
Efektivitas dari
ilmu pengetahuan untuk memberikan harapan itu tidak dapat diragukan lagi. Ilmu
pengetahuan dapat menawarkan kemungkinan-kemungkinan kesejahteraan hidup yang
jauh lebih besar bagi umat manusia daripada yang pernah dikenal sebelumnya,
dengan syarat; penghapusan perang, distribusi kekuasaan, dan pembatasan
pertumbuhan penduduk. Maka jika perdamaian dan demokrasi diciptakan dan
pertumbuhan penduduk mendekati nol persen, kemakmuran material akan tumbuh
sangat cepat, dan hal ini dapat menciptakan kemurahan hati.
BAB X Ilmu Pengetahuan dan Politik
1.
Pengantar
Ilmu pengetahuan
telah berhasil menjadi sarana bagi pengembangan kekuasaan serta kontrol
terhadap masyarakat. Ilmu pngetahuan mampu membantu para penguasa untuk
mengembangkan organisasi sosial yang semakin solid dan dapat dipakai untuk
kepentingan kekuasaan. Inilah masalah yang dewasa ini ingin mengembangkan suatu
masyarakat modern dengan imu pengetahuan dan teknologi sebagai basis
rasionalitasnya.
2.
Teknik
Ilmiah dan Kekuasaan
Teknik
ilmiah dan kekuasaan memiliki hubungan yang sangat dekat. Sejarang
bangsa-bangsa mencata dua contoh hubungan yang sangat erat itu, yaitu praktek
oligarki dan perang. Yang dimaksud oligarki adalah sistem apapun dengan
kekuasaan tertinggi hanya dimiliki sekelompok orang, misalnya orang kaya tanpa
orang miskin, Islam tanpa Kristen. Monarki dapat dilihat sebagai bentuk
oligarki ektrem. Sedangkan perang merupakan suatu praktek kekuasaan dengan
tujuan mengalahkan dan menghancurkan seluruh potensi musuh.
A. Oligarki
Salah satu
keunggulan oligarki zaman modern adalah bahwa sistem pemerintahan itu
menggunakan teknik-teknik ilmiah untuk memperkukuh organisasi sosialnya. Sistem
ini dinilai jahat karena mengandung sifat totaliter dan egoistis. Kekuasaan
oligarki memiliki jangkauan yang semakin luas dan intensif, sehingga memiliki
kekuasaan yang lebih bear didukung oleh kecenderungan organisasi untuk menjadi
semakin besar bersatu padu dalam negara. Oligarki memperkokoh sifat buruk
manusia pada umumnya, yaitu lebih memperhatikan kepentingan sendiri daripada
kepentingan kelompok atau masyarakat.
Banyak oligarki
modern dibangun di atas kepercayaan pada prinsip-prinsip dasar tertentu. Negara
semacam itu tidak memungkinkan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers,
dan kebebasan menerbitkan buku. Teknik-teknik ilmiah pun dikembbangkan untuk
menjamin pengawasan yang sempurna atas pendapat orang. Begitu pula sistem
perekonomian dengan sistem kerja paksa. Sistem ini bisa memberi manfaat sangat
besar, namun sistem ini telah menimbulkan rasa takut luar biasa bagi rakyat
biasa.
Pemerintah
oligarkis dewasa ini mengandung bahaya yang jauh lebih efektif dibandingkan
dengan apa yang bisa dilakukan oleh para penguasa yang depotis sebelumnya,
karena teknik ilmiah dewasa ini memiliki kemampuan untuk mendudukkan banyak
orang. Selain penemuan dalam bidang senjata-senjata ampuh yang mematikan
manusia, ilmu fisiologi dan psikologi dapat memberi pemerintah kemampuan yang
lebih besar untuk mengendalikan mentalitas individu. Dalam situasi semacam ini,
barangkali tepat kalau orang menginginkan ditegakkannya demokrassi dan hak-hak
asasi manusia.
B. Perang
Selain oligarki,
teknik ilmiah dapat menimbulak kejahatan lain yang menghancurkan yaitu perang.
Sejarah ilmu pengetahuan hampir tidak lepas dari keterlibatan ilmuawan dalam
urusan perang. Akibat-akibat perang seperti penyakit sampar tidak dirasakan
lagi dewasa ini. Namun ada tanda-tanda kejahatan perang meningkat. Bom atom dan
lagi bom hidrogen menimbulkan ketakutan-ketakutan baru dan membangkitkan
keraguan baru mengenai dampak ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia.
Semua orang
dewassa ini tentu tidak mengharapkan suatu perang apapun dimasa mendatang.
Namun perang itu tidak akan terjadi hanya dengan satu syarat yaitu, jika kita
tidak mau kehidupan ini punah. Jalan satu-satunya adalah kita harus belajar
taat kepada hukum, bahkan pada hukum yang diputuskan oleh orang-orang yang kita
benci. Dalam proses itu jjika manusia harus hidup berlanjut, umat manusia harus
belajar mendisiplinkan hasrat dengan taat kepada hukum, bahkan pada hukum yang
tidak adil dan kejam. Ini adalah prinsip Akal Budi, lawan dari prinsip
Kematian.
3.
Demokrasi
Jika ilmu
pengetahuan memiliki potensi meghancurkan, bagaimana menata kembali masyarakat
yang ditentukan oleh perangkat teknik-teknik ilmiah sehingga ilmu pengetahuan
tidak membawa kehancuran, melainkan memberikan harapan baru bagi manusia yang
lebih mencintai kehidupan daripada kematian. Diantara pilihan-pilihan yang
harus diambil, barangkali sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kita
menghendaki suatu masyarakat yang demokratis.
Demokrasi biasa
dihubungkan dengan gagasan gagasan kebebasan, baik itu kebbebasan dari kukungan
penguasa yang despotis, maupun kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat.
Namun ketika teknik-teknik ilmiah mulai dipakai secara luas di dalam
masyarakat, maka demokrasi tidak saja menjadi kata kunci untuk melawan penguasa
yang despotis melainkan suatu kata kunci untuk melindungi individu dari
masyarakat itu sendiri.
Ada tiga urgensi
dari diterapkannya demokrasi dalam masyarakat ilmiah, yaitu agar individu dapat
melihat dirinya berguna, sedapat mungkin terlindungi dari kemalangan yang
seharusnya tidak ia terima, dan memiliki kesempatan untuk berinisiatif dengan
segala macam cara positif yang tidak merugikan orang lain.
4.
Peranan
Ilmuwan
Banyak
ilmuwan memainkan peranan yang tidak kecil dalam pengambilan putusan politik
baik dengan menjadi staf dalam bidang penelitian milik pemerintah maupun dengan
menjadi staf dalam lembaga konsultasi publik. Namun, persoalan keterlibatan
para ilmuawan dalam rangka rasionalisasi masyarakat tidak dengan sendirinya
memenuhi harapan sehingga suatu masyarakat yang demokratis dapat dibentuk.
Permasalahannya justru terletak pada sifat hubungan antara ilmuwan yang ahli
dalam bidang-bidang tertentu dengan politisi yang berwenang untuk mengambil
keputusan publik.
Mengikuti
J. Habermas, ada tiga model kerjasama antara ilmuwan dan politisi. pertama
adalah decisionistic model (model
keputusan berdasarkan pertimbangan kepentingan). Dasar kerjasama menurut model
ini adalah hubungan yang erat antara nilai dan kepentingan dan teknik yang
dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan, nilai, dankepentingan itu. Ilmu
pengetahuan dan teknik-teknik ilmiah dimanfaatkan untuk melegitimasi kebijakan
pemegang kekuasaan.
Model
yang kedua adalah Technocratic model.
Model kerjasama ini mengunggulkan peranan ilmuwan profesional. Pemegang
kekuasaan tergantung pada para ilmuwan yang menjadikan dirinya sebagai salah
satu organ dari masyarakat. Kesulitan utama pendekatan ini sebenarnya terletak
dalam pandangan yang menegaskan bahwa masalah praktis dapat dipecahkan dengan
pendekatan teknis.
Pragmatic model
merupakan model ketiga. Model ini melihat bahwa antara ilmuwan dan politisi
memiliki interksi kritis dalam suatu diskusi yang dilengkapi ddengan informasi
dan pertimbangan-pertibangan ilmiah. Kedua belah pihak tidak saling
memanfaatkan dan menguasai. Hubungan anataranya bersifat timbal balik.
Sementara itu, kepentingan-kepentingan sosial yang tercermin dalam sistem
sosial masyarakat itu dipenuhi dan sekaligus juga dipertanyakan dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan pemecahannya.
Diantara
ketiga model tersebut, yang paling mendekati tuntutan bagi demokrasi adalah model
pragmatis. Hanya pendekatan pragmatis yang menegaskan bahwa hanya komunikasi
antara ilmuwan dan pelaku politik menentukan arah dari pengembangan teknik
dengan dasar tradisi untuk memecahkan masalah kebutuhan-kebutuhan praktis.
Komunikasi semacam itu dapat berakar pada kepentingan-kepentingan sosial yang
mengandung muatan orientasi nilai dari suatu life-world.
Dalam hal ini,
ilmuwan harus bisa melibatkan diri. Selain dalam spesialisasinya, ia juga harus
terlibat dalam seluruh proses self-understanding masyarakat. Dalam rangka
self-understanding itu juga, seorang ilmuwan harus dapat mengintegrasikan
kebudayaan teknik dengan kepribadian kultural. Keseimbangan antara kemajuan dan
tradisi serta kreatifitasnya harus dikembangkan karena hanya spiritualitas yang
berakar pada kebudayaan setempat yang bisa memberi makna bagi dunia metial dan
teknis.
BAB XI Masalah Bebas Nilai dalam
Ilmu Pengetahuan
1.
Pengetian
bebas Nilai
Bebas nilai
sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan kkpeda ilmu pengetahuan agar ilmu
pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar
ilmu pengetahuan.ilmu pengetahuan harus dikembangkan hanya semata-mata
berdasakan pertimbanagan ilmiah murni. Agar ilmu pengetahuan tidak tunduk kepda
pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan sehinggga malah mengalami distorsi.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap pertimbangan lain dan dengan
demikian ilmu pengetahuan tidak murni sama sekali. Sesungguhnya ilmu
pengetahuan pada dirinya sendiri peduli terhadap nilai tertentu, yaitu nilai
kebenaran dan dalam kaitan dengan itu nilai kejujuran.
Dengan demikian,
yang mau diwujudkan dengan tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu
pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk
kepada nilai dan pertimbangan lain dari luar ilmu pengetahuan.
2.
Dua
Kecenderungan Dasar
A. Kecenderungan
puritan-elitis
Kecenderungan
puritan-elitis beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah demi
ilmu pengetahuan. Bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan
ini hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja. Maka, ilmu
pengetahuan bagi mereka dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan
menjadi bidang yang sangat elitis. Ilmu pengetahuan hanya dicapai dan digeluti
oleh segelintir orang saja. Ilmu pengetahuan lalu menjadi sesuatu yang mewah,
jauh dari kehidupan real manusia. Jelas bahwa posisi dasar dari kecenderungan
puritan-elitis adalah bahwa ilmu harus bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus
lepas dari segala pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Kerna tujuan dari
ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, menemukan penjelasan onjektif dari
segala sesuatu. Untuk itu, ilmu tidak boleh tunduk pada otoritas lain diluar
ilmu pengetahuan.
B. Kecenderungan
Pragmatis
Kecenderungan
pragmatis pun beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan
memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu
pengetahuan pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia, yaitu ilmu
pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi dalam hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu
pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup
manusia.
Bagi
kelompok ini, ilmu pengetahuan menjadi menarik jusru karena ia berguna membantu
manusia. Tanpa itu ilmu pengetahuan tidak ada artinya sama sekali. Karena
itulah, sebagaimana sudah kita jelaskan hingga sekarang, yang disebut
pengetahuan maunisia tidak hanya “tahu bahwa”, “tahu akan”, dan “tahu mengapa”,
melainkan juga “tahu bagaimana”. Kebenaran ilmiah tidak hanya bersifat logis
rasional dan empiris, melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran
itu juga berguna menjawab berbagai persoalan hidup manusia.
Bagi
kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan dirasakan betul sangat membantu
manusia untuk mengembangkan suatu dunia dan kehidupan yang lebih manusiawi,
adil, bahagia, sehat, dan menyenangkan. Ilmu pengetahuan betul-betul melayani
kepentingan manusia dan bukan demi ilmu pengetahuan semata. Jadi yang
ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan, aspek kegunaan.
3.
Sintesis:
Context of Discovery dan Context of Justification
A. Context of Discovery
Context
of Discovery menyangkut dimana ilmu pengetahuan
ditemukan. Ilmu pengetahuan tidak munculmendadak begitu saja. Ada konteks
tertentu yang melahirkannya. Dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, ilmuwan
dimotivasi oleh keinginan, baik itu bersifat personal maupun kolektif, untuk
mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekadar kebenaran ilmiah
murni. Ada perasaan, keinginan, kepentingan pribadi, sosial, budaya, politik
yang ikut mewarnai dan mendorong penelitian kegiatan ilmiah. Ada pandangan
religius, moral, tradisi, dan macam-macam hal lain di luar ilmu pengetahuan
yang ikut mewarnai lahirnya ilmu pengetahuan. Semua hal ini menentukan serta
mempengaruhi seluruh kegiatan ilmiah.
Penelitian
ilmiah dan Ilmu Pengetahuan itu sendiri merupakan haril dari berbagai faktor.
Pertama, keputusan masing-masing ilmuwan tentang masalah mana yang ingin mereka
teliti atau pecahkan. Kedua, keputusan dari berbagai lembaga penelitian tentang
jenis penelitian yang mereka lakukan. Ketiga, keputusan lembaga penyandang
dana. Ini pun dipengaruhi oleh minat, nilai, ideologi dari lembaga tersebut.
Keempat, keputusan dan kebijaksanaan umum dalam masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasat tersebut, tidak bisa disangkal bahwa ilmu pengetahuan
berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat mempengaruhinya.
B. Context of Justification
Context of Justification
adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah.
Konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan ketgori dan
kriteria yang murni ilmiah.dimana yang berbicara adalah data dan fakta apa
adanya, serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan
kriteria dan pertimbangan lain di luar itu.
Konteks
pembuktian hipotesis atau teori, yang menentukan hanyalah faktor dan kriteria
ilmiah. Satu-satunya yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran
logis-rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori.
Satu-satunya nilai yang berlaku dan bdiperhitungkan adalah nilai kebenaran.
Dengan
perbedaan kedua koteks diatas, mau dikatakan bahwa Context of Discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Tetapi
dalam Context of Justification ilmu
pengetahuan bebas nilai. Tujuan dari perbedaan ini adalah untuk melindungi
objektivitas dari hasil kegiatan ilmiah, dan dengan demikian sekaligus
melindungi otonomi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pada tahap penemuan ilmu
pengetahuan memang tidak otonom seratus persen. Tetapi pada tahap pengujian,
ilmu penngetahuan harus otonom mutlak, karena hanya berada di bawah
pertimbangan ilmiah murni.
Konsekuensinya,
pertama, tujuan ilmiah dari penelitian harus dibedakan dari tujuan pribadi dan
sosial yang terkandung dalam penelitian ilmiah. Kedua, kemajuan ilmiah harus
dibedakan dari kemajuan sosial pada umumnya, walaupun keduanya berkaitan secara
timbal balik. Ketiga, rasionalitas, kaidah ilmiah dan kriteria ilmiah hanya
berkaitan dengan penilaian kebenaran, dengan bukti-bukti empiris dan rasional.
Keempat, dalam kaitan dengan ilmu-ilmu empiris, penilaian mengenai hasil-hasil
kegiatan ilmiah hanya didasarkan pada keberhasilan dan kegagalan empiris, ada
tidaknya fakta dan data empiris yang mendukung kesimpulan. Kelima, hanya
ilmuwan yang punya wewenang untuk memberi penilaian tentang fakta dan data, dan
sekaligus tentang kebenaran hasil penelitian.
Bagaimana
dengan hasil penelitian ilmiah yang terbukti kebenarannya berdasarkan kriteria
ilmiah, tetapi ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral religius
tertentu? Contohnya adalah Cloning. Dari segi Context of Justification, kriteria kebenarannya tidak bisa
dibantah. Tetapi dari segi Context of
Discovery, pertanyaannya adalah apakah hasil ilmu pengetahuan tersebut
berguna? Kalau ternyata tidak berguna, kalau ternyata merendahkan martabat
manusi, hasil tersebut perlu ditolak. Disini otonomi ilmiah tidak dilanggar.
Hanya saja menusia menolak hasil tersebut karena mereka merasa tidak ada
gunanya. Dalam hal ini, masyarakat hanya menggugah kesadaran ilmuwan itu untuk
mengembangkan terus ilmunya yang merugikan masyarakat itu atau menghentikannya,
dan ituberarti ia tetap otonom.